Lhokseumawe, Harianpaparazzi.com – Penyelenggaraan debat Pilkada Lhokseumawe dengan anggaran fantastis sebesar 944 juta rupiah memicu sorotan tajam dan kritik dari berbagai pihak.
Dalam konteks demokrasi, anggaran publik pada kegiatan pilkada seharusnya bukan hanya soal angka, namun juga tentang akuntabilitas dan efisiensi.
Sayangnya, Komisi Independen Pemilihan (KIP) Lhokseumawe justru bersikeras untuk tidak membuka rincian penggunaan dana, sehingga memunculkan pertanyaan serius terkait transparansi dan integritas dalam pengelolaan anggaran.
Menurut Ketua KIP Lhokseumawe, Hakim, anggaran debat pertama sudah mencapai 420 juta rupiah, termasuk sekitar 400 juta yang dialokasikan untuk Event Organizer (EO), Salindino.
Namun, dalam rincian yang minim ini, hanya 10 juta rupiah yang disebutkan sebagai biaya sewa gedung IAIN. Untuk rincian lainya, Hakim menolak membocorkan kepublik.
Justru publik berhak bertanya,ke mana sisa anggaran besar itu dialokasikan? Hakim menyatakan bahwa “KIP tidak memiliki kewajiban untuk membuka rincian anggaran kepada publik”.
Sungguh, sebuah pernyataan yang, bagi sebagian kalangan, bertentangan dengan prinsip-prinsip dasar pengelolaan dana publik.
Apakah memang ada urgensi untuk merahasiakan rincian anggaran? Dalam demokrasi yang sehat, pengelolaan dana publik seharusnya terbuka dan dapat dipertanggungjawabkan.
Transparansi bukan sekadar formalitas,ia adalah fondasi kepercayaan publik. Menolak membuka rincian anggaran justru mengundang kecurigaan bahwa ada sesuatu yang tidak sesuai dengan etika pengelolaan dana publik yang baik.
Sorotan utama dalam debat ini tidak hanya soal besarnya anggaran, namun juga efisiensi penggunaan dana. EO yang ditunjuk, Salindino, menerima alokasi sekitar 944 juta rupiah, versi Hakim.
Namun, kualitas teknis yang disuguhkan tidak sebanding dengan biaya tersebut. Bila dengan anggaran sebesar itu kualitas masih di bawah standar, pertanyaannya adalah, apakah anggaran ini sudah dikelola dengan benar?
Menggarisbawahi bahwa efektivitas dana tidak hanya tentang menghabiskan jumlah yang besar, tetapi juga tentang memberikan hasil yang optimal.
Dalam penyelenggaraan debat, dana yang besar seharusnya berbanding lurus dengan kualitas penyelenggaraan yang memadai. Bila tidak demikian, publik pantas bertanya apakah anggaran yang dikeluarkan benar-benar dialokasikan sesuai kebutuhan atau hanya menjadi angka besar tanpa realisasi yang efektif.
Di balik penolakan KIP untuk membuka rincian anggaran, muncul pertanyaan, apa yang sebenarnya disembunyikan? Transparansi bukan hanya masalah teknis pengelolaan keuangan, melainkan adalah landasan untuk menjaga integritas sebuah proses demokrasi.
Publik mulai mengkhawatirkan apakah dana tersebut benar-benar dialokasikan untuk kegiatan yang produktif atau dialihkan untuk kepentingan tertentu yang tidak relevan.
Dugaan bahwa anggaran telah “dibengkakkan” atau bahkan “disunat” menjadi perbincangan publik.
Ketika sebuah lembaga yang mengelola dana publik menolak transparansi, ia sekaligus melemahkan kepercayaan masyarakat dan membuka celah untuk spekulasi negatif yang bisa merugikan kredibilitas lembaga tersebut.
Pada akhirnya, pertanyaan dari masyarakat sangat mendasar, bagaimana dana hampir satu miliar ini digunakan, dan mengapa KIP begitu enggan mengungkapkan perinciannya?
Transparansi bukan semata-mata kewajiban administratif, ia adalah bentuk penghormatan terhadap rakyat yang menjadi pemilik dana tersebut.
Bila KIP tak mampu atau tak bersedia mempertanggungjawabkan penggunaan anggaran dengan terbuka, maka lembaga ini sejatinya telah gagal dalam memenuhi tuntutan etika demokrasi.
Sikap KIP Lhokseumawe hari ini, telah bertentangan dengan tema debat perdana itu “Pengembangan infrastruktur, pembangunan ekonomi rakyat, dan tata kelola pemerintahan yang bersih dan transparan”.
Untuk diketahui, dana secara keseluruhan untuk Pilkada Kota Lhokseumawe yang tercantum dalam MPH 2024 sebesar 22 miliar rupiah telah disusun dalam Rencana Anggaran Biaya (RAB) sesuai dengan kebutuhan. (Tim)