Aceh Tenggara, harianpaparazzi.com – Tragedi berdarah yang merenggut nyawa di Stadion H. Syahadat, Kutacane, saat konser Faul Gayo dalam rangkaian Muslim Ayub Fest sungguh menyayat hati. Apapun alasannya, kehilangan nyawa akibat sebuah acara hiburan tidak bisa dianggap sebagai kejadian biasa. Ini adalah peringatan keras bagi kita semua, terutama bagi para pemangku kebijakan dan penyelenggara kegiatan di Aceh Tenggara.
Perlu ditegaskan, Aceh bukanlah daerah sembarangan. Aceh adalah daerah istimewa dengan kekhususan syariat Islam yang diatur dalam Undang-Undang Pemerintahan Aceh (UUPA). Ulama, melalui Majelis Permusyawaratan Ulama (MPU) Aceh, telah mengeluarkan Fatwa Nomor 12 Tahun 2013 tentang Seni Budaya dan Hiburan. Fatwa tersebut secara tegas melarang pagelaran seni budaya dan hiburan—termasuk konser musik—yang melanggar syariat: bercampur baur antara laki-laki dan perempuan, menghadirkan alat musik terlarang, atau berlangsung pada waktu yang mengganggu ibadah.
Sayangnya, konser di Kutacane justru melanggar poin-poin tersebut. Penonton bercampur, acara berlangsung hingga larut malam mendekati pukul 11 malam, dan atmosfer pesta jauh dari nilai keislaman yang dijaga masyarakat Aceh. Bukankah ini bentuk nyata pembangkangan terhadap fatwa ulama dan nilai adat budaya Tanoh Alas yang menjunjung tinggi kesopanan dan marwah?
Muslim Ayub, sebagai anggota DPR-RI dari Partai NasDem sekaligus inisiator festival ini, tidak bisa lepas dari tanggung jawab moral maupun sosial. Seorang wakil rakyat seharusnya menjadi teladan, bukan malah menjadi pemicu polemik yang berakhir pada tragedi berdarah. Hiburan memang hak masyarakat, tetapi hiburan yang melanggar fatwa ulama dan syariat Islam jelas menjerumuskan umat kepada mudharat, bukan maslahat.
Tragedi ini memberi kita pelajaran pahit: ketika fatwa ulama diabaikan, ketika syariat dianggap sepele, dan ketika penyelenggara hanya memikirkan keramaian tanpa pengendalian, maka yang muncul adalah kekacauan, bahkan kehilangan nyawa.
Oleh sebab itu, publik Aceh Tenggara harus bersatu menuntut agar:
1. Penyelenggara bertanggung jawab penuh atas tragedi ini.
2. Pemerintah daerah memperketat izin acara hiburan sesuai fatwa MPU Aceh.
3. Masyarakat lebih waspada dan tidak mudah terbuai oleh hiburan yang melanggar nilai agama.
Kita semua wajib bertanya: untuk apa sebuah konser jika akhirnya membawa darah dan duka? Apakah pantas sebuah hiburan dijalankan dengan mengorbankan syariat dan marwah Aceh Tenggara?
Tragedi ini harus menjadi momentum kebangkitan moral. Jika tidak, sejarah akan mencatat bahwa kita adalah generasi yang rela menukar darah dan nyawa hanya demi gemerlap lampu panggung. (Azhari)