Aceh Utara, Harianpaparazzi – PT Pema Global Energy (PGE), perusahaan migas yang menggarap ladang gas tua peninggalan ExxonMobil, terus menuai polemik. Beroperasi di tengah masyarakat miskin yang mayoritas petani, perusahaan ini dianggap abai terhadap kesejahteraan warga sekitar meski sudah lebih dari satu dekade mengeksploitasi sisa gas yang ditinggalkan raksasa energi asal Amerika Serikat tersebut.
Konflik Berulang, Aspirasi yang Tak Didengar
Kegiatan reses II Tahun 2025 yang dilakukan oleh Dewan Perwakilan Rakyat Kabupaten (DPRK) Aceh Utara menyoroti keluhan masyarakat di sekitar area operasi PT PGE. Warga dari empat kecamatan yang mengapit perusahaan—dari Cluster 1 hingga Cluster 4—menyuarakan kekecewaan mereka terhadap kebijakan tenaga kerja dan minimnya kontribusi sosial perusahaan.
Di Kecamatan Nibong, yang berbatasan langsung dengan kantor utama PT PGE, seorang tokoh masyarakat mengungkapkan bahwa perusahaan tidak merekrut satu pun tenaga kerja magang dari daerah tersebut. Sebaliknya, Kecamatan Syamtalira Aron justru memiliki 12 pekerja magang. Ketimpangan ini memicu kekecewaan warga yang merasa hak mereka sebagai bagian dari komunitas terdampak diabaikan.
Anggota DPRK Aceh Utara, Mundirsyah Robert, menegaskan bahwa pihaknya akan terus memperjuangkan hak-hak masyarakat setempat. Ia juga menyoroti fakta bahwa meskipun PT PGE berstatus Badan Usaha Milik Daerah (BUMD) Aceh, komunikasi dengan perusahaan tersebut lebih sulit dibandingkan dengan perusahaan asing seperti ExxonMobil dan Pertamina Hulu Energi (PHE). “Karena Asoe Le Awak Jawa Maka Leubeh Hek Komunikasi daripada Perusahaan Awai Lage PT PHE dan ExxonMobil,” ujarnya.
Community Development: Realisasi atau Sekadar Formalitas?
Dalam regulasi industri migas, perusahaan diwajibkan mengalokasikan dana Community Development (CD) untuk kesejahteraan masyarakat sekitar. Namun, hingga kini, kontribusi PT PGE terhadap pengembangan sosial dan ekonomi warga masih dipertanyakan. Transparansi mengenai besaran dan penggunaan dana CD pun minim.
Mengacu pada Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (Permen ESDM) No. 37 Tahun 2016, setiap perusahaan migas wajib mengutamakan tenaga kerja lokal dan mengimplementasikan program pemberdayaan masyarakat yang berkelanjutan. Fakta di lapangan menunjukkan bahwa kewajiban ini belum sepenuhnya dipenuhi oleh PT PGE.
Mendesak Akuntabilitas dan Transparansi
Dengan banyaknya keluhan warga yang tidak kunjung mendapat solusi konkret, muncul pertanyaan: Apakah PT PGE benar-benar berorientasi pada pembangunan daerah atau hanya mengeksploitasi sumber daya tanpa tanggung jawab sosial yang jelas?
Dalam konteks eksploitasi sumber daya alam, tanggung jawab sosial perusahaan tidak boleh sekadar retorika. PT PGE harus membuktikan bahwa mereka bukan sekadar operator yang mengeruk kekayaan bumi Aceh tanpa peduli terhadap dampak sosial yang ditimbulkannya.
Menurut Zubir HT, selaku wakil rakyat dari daerah pemilihan setempat, mengatakan Perjuangan masyarakat bukan sekadar menuntut hak, tetapi mempertanyakan komitmen perusahaan dalam membangun daerah yang selama ini hanya menjadi saksi bisu eksploitasi tanpa keadilan dan dirinya mempertayankan Berapa jumlah pasti dana CD yang telah dialokasikan dan bagaimana realisasinya. Selain itu Mengapa perekrutan tenaga kerja lokal sangat timpang antara kecamatan satu dengan lainnya dan Apa langkah konkret PT PGE dalam memperbaiki relasi dengan masyarakat sekitar yang telah lama merasa terpinggirkan ( firdaus )