Lhokseumawe, Harianpaparazzi.com || Di bawah terik matahari pesisir Banda Sakti, sekelompok perempuan paruh baya tampak sibuk memilah ikan teri. Jemari mereka cekatan, aroma laut masih melekat kuat di pakaian. Sudah bertahun-tahun mereka hidup dari hasil laut ini. Namun, ada satu hal yang selalu membuat dada mereka sesak: harga jual yang tak pernah sebanding dengan jerih payah mereka.
Ironisnya, saat produk-produk olahan teri berlabel cantik beredar di supermarket kota, mereka hanya bisa menatap dengan getir. “Itu dari Lhokseumawe juga, tapi bukan kami yang mengolah, bukan kami yang untung,” bisik seorang ibu sambil menahan air mata.
Setelah sekian lama terpinggirkan dalam rantai nilai ekonomi, kini harapan baru mulai menyapa pelaku usaha kecil di Lhokseumawe. Pemerintah Kota Lhokseumawe melalui Dinas Kelautan, Perikanan, Pertanian dan Pangan (DKPPP), Dinas Perindustrian dan UMKM, serta Forum Peningkatan Konsumsi Ikan (FORIKAN), baru saja menutup pelatihan peningkatan mutu hasil olahan ikan teri.
Selama dua hari, tujuh kelompok usaha dari Kecamatan Banda Sakti diajarkan mulai dari pengolahan higienis, teknik pengemasan menarik, hingga strategi digital marketing. Lokasi pelatihan di Gedung Tgk. M. Hasbi As-Shidieqy, menjadi saksi lahirnya semangat baru.
Wali Kota Lhokseumawe, Dr. Sayuti Abubakar, dalam sambutannya membuka kenyataan pahit yang selama ini dihadapi warganya.
“Teri dari laut kita justru diolah oleh daerah lain, dikemas dengan merek luar, lalu kembali ke sini dengan harga mahal. Ini ironi yang harus kita akhiri,” tegasnya.
Bagi Sayuti, persoalan ini bukan semata soal bisnis. Ini soal harga diri masyarakat pesisir.
“Kita ingin Lhokseumawe dikenal bukan hanya sebagai penghasil bahan baku, tapi juga sebagai produsen produk olahan berkualitas,” tambahnya.
Ibu Nurhayati, salah satu peserta dari Gampong Hagu Teungoh, tak bisa menyembunyikan senyumnya saat menunjukkan kemasan baru hasil pelatihan. “Dulu cuma pakai plastik kiloan, sekarang sudah belajar pakai kemasan ziplock, ada labelnya, ada nomor izin,” ujarnya bangga.
Tak hanya Nurhayati, Pak Saiful, pelaku usaha pengeringan ikan, mengaku baru paham pentingnya branding setelah ikut sesi digital marketing.
“Saya pikir jualan itu ya cukup di pasar. Ternyata sekarang orang banyak beli lewat online. Saya mau coba masuk ke marketplace lokal,” katanya dengan mata berbinar.
Sentuhan Sosial dan Ekonomi (Lapisan Multi Kontekstual):
Plt Kepala DKPPP, Cut Elya Safitri, menegaskan bahwa pelatihan ini bukan akhir, melainkan awal dari sebuah perjalanan panjang menuju kemandirian ekonomi.
“Kami ingin membangun ekosistem perikanan dari hulu ke hilir. Masyarakat tak hanya memproduksi, tapi juga paham soal kualitas, legalitas, dan pemasaran digital,” katanya.
Sementara itu, Ketua FORIKAN, Ny. Yulinda Sayuti, mengajak semua pihak untuk terus berinovasi.
“Jangan berhenti di sini. Buat varian baru, tampilkan keunikan produk kita. Ini tentang mengangkat identitas Lhokseumawe,” pesannya.
Kini, di sudut-sudut kampung nelayan Lhokseumawe, semangat baru mulai tumbuh. Di balik wajan penggorengan teri dan tumpukan plastik kemasan, tersimpan harapan besar: agar hasil laut mereka tak lagi hanya dihargai sebagai komoditas mentah, tapi sebagai produk jadi yang layak bersaing, bahkan mendunia.
“Kami ingin anak-anak kami bangga menyebut, teri dari Lhokseumawe ini… buatan kami, dari tangan kami sendiri,” kata Ibu Nurhayati, sambil melipat label baru hasil kreasinya. (firdaus)