Lhokseumawe, Harianpaparazzi – Kebersihan Kota Lhokseumawe kini menjadi sorotan tajam. Bukan hanya karena tumpukan sampah yang merusak wajah kota, tetapi juga karena ketidakmampuan pemerintah kota—terutama Walikota dan Dinas Lingkungan Hidup—dalam mengelola persoalan mendasar ini. Ajakan berulang untuk menjaga kebersihan kota tak lebih dari slogan kosong.
Pengamatan di lapangan menunjukkan kondisi memprihatinkan: sampah berserakan di hampir semua titik—di pinggir jalan protokol Merdeka Barat, Waduk Kota, Desa Pusong, pantai Hagu Barat Laut, hingga selokan di Lancang Garam dan Kampung Jawa Baru. Di kawasan kumuh dan padat penduduk, sampah bahkan menumpuk di bawah rumah-rumah panggung yang berdiri di atas air.
Di tengah situasi ini, PJ Walikota Sayuti sibuk berswafoto bersama camat di waduk Lhokseumawe , Rabu (09/04). Alih-alih mengurai masalah dari akarnya, gestur simbolik tersebut justru menuai kritik. “Belum paham karakter masyarakat, sudah mau bicara solusi besar,” keluh salah seorang warga Farida Rasyid warga Lancang Garam .
Lebih ironis lagi, Camat Banda Sakti mengakui bahwa pihaknya sudah menyediakan tong sampah dan bahkan meminta geuchik menyediakan pos anggaran TPS, namun tetap tak efektif. Ketika ditanya apakah ini soal lemahnya koordinasi antarlembaga atau pemimpin yang tak memahami karakter masyarakat kota, Camat hanya mengatakan: “Itu ranah Walikota.”
Kritik terhadap Walikota: Mengelola kota bukan sekadar menunaikan janji politik, tapi soal memahami karakter masyarakat yang kompleks. Jika masyarakat tidak patuh, seharusnya ada pendekatan kebijakan, edukasi, serta regulasi yang ditegakkan. Sayuti, yang baru menjabat, belum menunjukkan arah strategis yang jelas dalam menyelesaikan persoalan sampah ini.
Regulasi dan Aturan yang Berlaku:
UU No. 18 Tahun 2008 tentang Pengelolaan Sampah – mengamanatkan penanganan sampah secara terpadu mulai dari sumber sampai ke tempat pembuangan akhir dengan prinsip 3R (Reduce, Reuse, Recycle).
Peraturan Pemerintah (PP) No. 81 Tahun 2012 tentang Pengelolaan Sampah Rumah Tangga dan Sampah Sejenis Sampah Rumah Tangga.
Qanun Aceh No. 11 Tahun 2018 tentang Pengelolaan Sampah – menekankan peran serta masyarakat dan sanksi administratif bagi pelanggaran pembuangan sampah.
Namun faktanya, tidak satu pun dari amanat ini dijalankan secara konsisten di Kota Lhokseumawe.
Kondisi Lhokseumawe adalah cermin kegagalan kolektif antara pemerintah dan masyarakat. Jika pemerintah terus memosisikan diri sebagai pengamat alih-alih penggerak solusi, maka masalah klasik ini akan terus berulang setiap tahun. Dan ketika pemimpin sibuk pencitraan tanpa visi teknokratik yang kuat, kota ini hanya akan jadi panggung teater pengelolaan yang buruk.
Menurut Farida Rasyid Sampah bukan hanya tumpukan limbah, tapi representasi manajemen. Ketika kota tak sanggup mengelola limbahnya sendiri, itu tandanya bukan cuma lingkungan yang tercemar, tapi juga integritas dan kapasitas para pemimpinnya. Kini publik menanti solusi atau sekadar sensasi. (Firdaus)
2 Komentar
Sangat setuju dengan pendapat kak Farida Rasyid.
Drainase/got, selokan, got dan sampah dikota lhokseumawe dikelola dengan manajemen yang sangat buruk. Menunggu realisasi janji kampanye walikota “BRÕH JEUÊ KEU PÈNG” IÊÈ GÓT JEUET KÈU…?”
Problema sampah di masyarakat bukan hanya menjadi sebeuah masalah bagi tata kota di Lhokseumawe, akan tetapi akan menjadi masalah besar bagi pertumbuhan anak dimasa yang akan datang, menurut saya didalam kota Lhokseumawe kewajiban bagi seorang pemimpin baru dalam hal ini untuk Bapak Sayuti Abu Bakar yang juga merupakan lulusan dari salah satu pondok pesantren harus mampu menciptakan penduduk yang beriman, karena dengan keimanan masalah kebersihan akan dapat diatasi dengan baik. Bapak Sayuti Abubakar harus bisa mengedukasi masyarakat kota lhokseumawe untuk dapat mengedepankan iman mereka.