Lhoksukon, Harianpaparazzi.com – Hamparan pasir putih sepanjang 800 meter itu tak hanya menyapa langkah pengunjung yang datang dari berbagai penjuru Aceh. Di balik riuhnya ombak dan langit biru yang memayungi Kecamatan Seunuddon, Pantai Bantayan menyimpan cerita, tentang harapan masyarakat pesisir, napas ekonomi lokal, hingga ikhtiar pemerintah menjaga warisan budaya di tanah Serambi Mekkah. Juli ini, titik kecil di peta Aceh itu kembali bersiap menerima ribuan pasang mata dalam Festival Bantayan 2025.
Dihelat pada 12 dan 13 Juli 2025, Festival Bantayan bukan sekadar ajang keramaian. Pemerintah Kabupaten Aceh Utara melalui rapat koordinasi yang dipimpin Sekda Dr. A. Murtala memastikan, festival ini menjadi ruang strategis pelestarian destinasi dan penggerak ekonomi kawasan pesisir timur. “Ini harus kita jadikan agenda tahunan,” tegas Murtala di hadapan kepala SKPK, OPD, tokoh adat hingga panitia pelaksana.
Bagi M. Nasir, Kepala Disporapar Aceh Utara, Festival Bantayan adalah wajah pariwisata daerah yang tak melulu tentang pantai. “Kita ingin tunjukkan bahwa Aceh Utara punya wisata gunung dan islami, bukan hanya bahari,” ujarnya. Ia memproyeksikan 500 hingga 3.000 pengunjung per hari, didukung penuh oleh UMKM dan instansi vital.

Puluhan pelaku UMKM juga menyambut momen ini sebagai angin segar. Sebagian bahkan mengusulkan jadwal festival diperpanjang menjadi sepekan penuh. “Produk-produk lokal kami butuh etalase yang lebih panjang,” ungkap salah satu pelaku usaha dari Seunuddon yang siap menampilkan anyaman tikar dan kopiah khas.
Tak hanya bazar, pertunjukan seni dan lomba permainan rakyat pun disiapkan. Ada tari tradisi dari pelajar sekolah, kerajinan dari Dekranas, hingga kuah lada sebagai ikon kuliner khas. Meski demikian, nilai-nilai adat dan syariat tetap dijaga. Kelompok Sadar Wisata Bantayan mengusulkan kegiatan hanya berlangsung hingga sore, sebagai bentuk penghormatan terhadap syariat Islam.
Bagi masyarakat pesisir, festival ini bukan euforia semata. Ia adalah panggung yang mereka ciptakan sejak 2013, ketika pantai itu belum bernama dan hanya dikelola dengan semangat gotong royong. “Bantayan bukan sekadar tempat, ini tentang identitas kami,” ujar salah satu tokoh gampong.
Kegiatan ini terverifikasi dalam agenda resmi Pemkab. Peran Disporapar, Disdag, Dekranas, hingga pelajar sekolah terkonfirmasi. Pihak kelompok sadar wisata, pelaku UMKM, dan tokoh masyarakat sudah diajak berdialog. Usulan pembatasan waktu festival malam hari juga sedang dikaji ulang.
Warga setempat mengatakan, di tengah arus modernisasi dan tuntutan digitalisasi wisata, Bantayan hadir sebagai pelajaran: bahwa daya tarik tak melulu tentang fasilitas mewah atau atraksi spektakuler. Kadang, cukup dengan laut yang jujur, rakyat yang tekun, dan warisan yang dijaga sebuah pantai bisa bicara lebih keras dari plang iklan. (firdaus)