Aceh Utara, harianpaparazzi.com – Koordinator Masyarakat Transparansi Aceh (MaTA), Alfian mendesak Kejaksaan Tinggi (Kejati) Aceh melalui Kejaksaan Negeri (Kejari) Aceh Utara untuk mengusut proyek normalisasi sungai Alue Masyiek-Alue Gunto di Kecamatan Tanah Luas.
Proyek dengan Anggaran Pendapatan Belanja Aceh (APBA) senilai Rp1,6 miliar itu dinilai tidak memenuhi standar pelaksanaan karena tidak memiliki volume perencanaan yang jelas.
“Setiap proyek harus ada perencanaan. Jika tidak ada volume, berarti tidak ada perencanaan. Volume itu menjadi dasar untuk menentukan standar pengerukan, seperti kedalamannya. Ini proyek antisipasi banjir, tetapi pengerjaan di lapangan justru tidak sesuai fungsinya,” ujar Alfian saat diwawancarai, Minggu (1/12).
Alfian mengungkapkan, proyek yang bersumber dari anggaran Pemerintah Aceh tersebut diduga dilakukan tanpa perencanaan matang. Hal itu, menurutnya, menjadi modus untuk mencari keuntungan bagi beberapa pihak tertentu.
“Proyek tanpa volume berarti tidak memiliki perencanaan. Negara sudah mengeluarkan Rp1,6 miliar untuk proyek ini, tetapi hasilnya tidak maksimal di lapangan. Ini perlu diselidiki lebih lanjut,” katanya.
Ia juga menegaskan, Kejari Lhoksukon harus berani memproses proyek tersebut tanpa ragu, terlepas dari siapa pun yang terlibat.
“Ini uang negara, bukan uang warisan pribadi. Proyek ini untuk rakyat, tetapi kalau dilakukan seperti ini, jelas ada yang tidak beres,” tegasnya.
Menurut Alfian, berdasarkan keterangan tim pengawas lapangan, proyek tersebut dapat dikategorikan sebagai “proyek abal-abal.” Bahkan, ia menyebut pemerintah Aceh perlu memberikan klarifikasi terkait pelaksanaan proyek tersebut.
“Anggaran Rp1,6 miliar bukan jumlah yang kecil. Pemerintah Aceh perlu menjelaskan, kenapa proyek ini bisa lolos tanpa perencanaan yang sesuai,” tambahnya.
Alfian juga menyoroti adanya proyek lain yang melibatkan anggota DPRA dengan spesifikasi pengerjaan yang maksimal. Namun, berbeda dengan proyek normalisasi Alue Masyiek-Alue Gunto, proyek tersebut sama sekali tidak memiliki spesifikasi teknis yang jelas.
“Ini adalah proyek akal-akalan. Kejaksaan harus segera melakukan penyelidikan dan penyidikan. Ini bukan delik aduan. Kita bicara tentang uang negara, sehingga penyelidikan harus dilakukan untuk mengungkap fakta sebenarnya,” pungkas Alfian.
Pengawas lapangan proyek, Makmur, secara terbuka mengakui bahwa volume pengerjaan tidak diatur dalam kontrak. “Volume tidak mengikat, makanya tidak bisa dimasukkan dalam kontrak,” ujar Makmur.
Pernyataan ini menggambarkan lemahnya perencanaan dan pengawasan yang seharusnya menjadi fondasi utama dari proyek senilai miliaran rupiah.
Bagaimana mungkin proyek dengan anggaran besar berjalan tanpa kejelasan target volume pengerjaan? Tanpa standar yang mengikat, hasilnya menjadi tidak terukur dan terbuka terhadap potensi penyimpangan anggaran.
Oknum anggota DPRA Armiadi,yang dikonfirmasi Wartawan dua hari lalu mengakui kalau proyek Normalisasi Alue Masyik adalah berasal dari anggaran Pokirnya senilai Rp.1,6 M.
“Paket itu memang Pokir saya, apa wartawan punya sertifikat ahli sehingga berani menyatakan pekerjaan itu tidak sesuai RAB,” kata Armiadi seraya memutuskan komunikasi dengan Wartawan yang mengkonfirmasinya. (Tri/Fajar)