Lhokseumawe, Harianpaparazzi.com – Langkah Gubernur Sumatera Utara Bobby Nasution yang datang langsung ke Banda Aceh untuk membahas pengelolaan potensi migas di empat pulau yang sedang menjadi polemik antara Sumut dan Aceh, memang mencuri perhatian.
Tapi yang lebih menyita perhatian publik bukan manuver Bobby, melainkan sikap Muhammad Nasir Djamil, anggota DPR RI asal Aceh, yang justru sibuk melontarkan pujian berlebihan kepada Bobby, seolah lupa bahwa ia sedang duduk sebagai wakil rakyat Aceh di Senayan.
Alih-alih bersuara tegas membela kedaulatan dan kepentingan Aceh atas empat pulau yang secara historis dan administratif punya akar panjang dalam wilayah Aceh, Nasir justru tampil seolah sebagai duta kehormatan Sumatera Utara.
Ucapannya yang menyebut perjalanan darat Bobby sebagai “niat baik yang luar biasa”, dan bahkan menyebut “layak diacungi jempol”, menunjukkan glorifikasi murahan terhadap gestur politis yang biasa saja. Ini bukan diplomasi, ini adalah kecanggungan seorang legislator yang kehilangan kompas.
Sebagai putra kelahiran Medan, Nasir memang memiliki kedekatan emosional dengan Sumut. Namun ketika duduk di Senayan sebagai perwakilan Aceh, publik berhak meminta ketegasan, bukan kepalsuan berselimut pujian.
Maka tak heran, sikapnya tersebut menuai kecurigaan. Klarifikasi yang ia lontarkan setelah narasinya viral di media nasional justru memperkuat kesan bahwa ia bukan hanya keliru, tapi juga abai terhadap sensitivitas geopolitik masyarakat Aceh.
Langkah tegas Gubernur Aceh Muzakir Manaf alias Mualem untuk mencabut jabatan Ketua Forum Bersama (Forbes) DPR dan DPD RI asal Aceh dari tangan Nasir Djamil adalah keputusan yang sangat tepat.
Posisi tersebut kini diberikan kepada T.A. Khalid, politisi yang diyakini lebih tegas dalam membawa suara Aceh di forum nasional. Pencopotan ini bukan hanya simbolik, tapi juga pesan politik: Aceh tidak butuh juru puji, melainkan pejuang.
Gubernur Mualem dan jajaran Pemerintah Aceh perlu waspada terhadap manuver-manuver politik yang terselubung di balik wajah senyum dan kalimat manis. Kehadiran Nasir dalam beberapa pertemuan strategis, termasuk di Pendopo Gubernur, patut dicermati lebih serius. Apakah ia benar membawa semangat kolektif Aceh, atau justru menyusupkan agenda lain?
Nasir Djamil mungkin sedang bermain di wilayah abu-abu. Tapi bagi Aceh, kepentingan daerah tak boleh dikaburkan oleh diplomasi palsu. Hari ini publik bertanya dengan tegas, untuk siapa sebenarnya Nasir Djamil berdiri?
TS Sani, tokoh Aceh Utara, secara terpisah menyatakan bahwa pernyataan Nasir Djamil merupakan bentuk pengkhianatan terhadap aspirasi dan harga diri rakyat Aceh. Menurutnya, Nasir telah gagal total menjalankan fungsinya sebagai representasi Aceh di parlemen nasional.
“Logika sederhananya begini,” ujar TS Sani, atau yang akrab disapa Ampon Sani, “Tanah orang tua kita dirampas oleh tetangga.
Lalu si tetangga datang menawarkan kompromi untuk mengelola tanah itu bersama dan berbagi hasil. Tapi ibu kita justru memuji langkah si tetangga. Apa yang kita rasakan sebagai anak? Sakit hati. Itulah yang dirasakan rakyat Aceh hari ini.” kata TS Sani yang juga ketua Ormas Gerakan Rakyat itu.