Aceh Utara, Harianpaparazzi.com – Warga Aceh Utara kembali merasakan ironi kedaulatan energi sendiri. Pemadaman listrik total selama dua hari penuh, mulai pagi 30 September hingga 1 Oktober 2025, menyelimuti rumah-rumah warga, bertepatan dengan peringatan G30S/PKI dan Hari Kesaktian Pancasila.
Momen sakral tersebut seharusnya menjadi waktu untuk meneguhkan nilai-nilai Pancasila—persatuan, keadilan sosial, dan kesejahteraan rakyat. Namun, warga hanya disuguhi gelap gulita. Bendera Merah Putih dikibarkan setengah tiang, sementara lampu mati, televisi padam, dan aktivitas sehari-hari terganggu. Ironi semakin tajam: rakyat yang hidup di pusat sumber energi justru menjadi penonton dari energi yang mereka miliki sendiri.
PLN Aceh melalui Command Center mengakui:
“Untuk saat ini sedang terjadi PADAM MELUAS di seluruh wilayah Aceh sejak 30 September sampai 1 Oktober 2025. Gangguan sedang ditangani petugas lapangan. Mohon maaf atas ketidaknyamanan Bapak/Ibu.”
Namun, pernyataan ini tak menurunkan kekecewaan masyarakat. Warga mempertanyakan, bagaimana mungkin pemadaman terjadi, padahal PLTG Arun di Lhokseumawe beroperasi dengan kapasitas total 434 MW—cukup untuk menyalakan sekitar 240.000 rumah tangga. Sementara data BPS 2024 mencatat jumlah rumah tangga di Kabupaten Aceh Utara hanya 144.100 KK.
Gas bumi yang menjadi bahan bakar PLTG Arun berasal dari sumur produksi lokal yang dikelola PT Perta Arun Gas (PAG). Sayangnya, sebagian besar gas dialokasikan untuk industri dan pembangkit di luar Aceh, termasuk Sumatera Utara. Akibatnya, rakyat Aceh Utara yang berada di pusat sumber energi justru harus mengalami kegelapan.
“Ini momen penting bagi bangsa, tapi kami justru mengalami listrik mati. Harusnya energi yang melimpah di daerah ini bisa digunakan untuk rakyat sendiri,” ujar seorang warga Aceh Utara.
Kapasitas dan Kebutuhan PLTG Arun
PLTG Arun I: 184 MW
PLTG Arun II: 250 MW (operasi penuh sejak Februari 2021)
Dengan asumsi konsumsi gas 1 MMSCFD per MW, kebutuhan gas total kedua unit mencapai ±434 MMSCFD per hari. Terminal LNG PAG memiliki kapasitas hingga 405 MMSCFD, namun sebagian besar dialokasikan untuk industri lain. Bukti nyata bahwa rakyat Aceh Utara tidak menjadi prioritas.
Pemadaman ini juga menyoroti lemahnya koordinasi antara PLN Aceh, pemerintah daerah, dan pengelola gas swasta. Tidak ada jadwal pemulihan pasti, tidak ada kompensasi, dan minim transparansi informasi bagi masyarakat. Warga hanya bisa menunggu sambil berharap listrik segera menyala.
Kejadian ini menjadi alarm bagi pemerintah daerah dan pengelola energi: janji kemerdekaan energi dan kesejahteraan rakyat tidak bisa lagi hanya sekadar retorika. Lampu mati, janji tetap terang di atas kertas, rakyat hanya bisa menunggu.
Ironi semakin nyata ketika Pancasila, yang menekankan keadilan sosial, persatuan, dan kesejahteraan, seakan hanya tersisa di dokumen. Mengapa rakyat Aceh Utara harus gelap saat energi melimpah di wilayah mereka sendiri? Mengapa listrik yang cukup untuk seluruh Aceh Utara bisa habis untuk kepentingan industri lain?
Pemadaman listrik selama dua hari penuh menjadi pengingat keras bahwa kedaulatan energi adalah bagian dari kedaulatan rakyat, bukan sekadar angka produksi atau kapasitas pembangkit. Lampu mati di Hari Kesaktian Pancasila menjadi simbol kegagalan negara dan perusahaan energi dalam menegakkan keadilan sosial.
Warga Aceh Utara berharap PLN Aceh, pemerintah daerah, dan pengelola energi swasta segera menata ulang distribusi listrik agar rakyat lokal menjadi prioritas. Peringatan Pancasila seharusnya bukan hanya seremoni, tapi tindakan nyata dalam memastikan akses energi yang adil dan merata. (tri)