LHOKSEUMAWE | HARIANPAPARAZZI.COM
Sebuah bangunan berlantai tiga berdiri tegak di tengah kampus Politeknik Negeri Lhokseumawe (PNL). Terlihat megah dari luar, namun sunyi dan tak bernyawa. Keramiknya pecah, kamar-kamarnya rusak, dan fisiknya retak. Proyek bernilai lebih dari Rp14 miliar ini belum sekali pun difungsikan sejak selesai dibangun hampir dua tahun lalu. Sementara ratusan mahasiswa dari luar daerah masih berjibaku dengan biaya sewa kos, Rusunawa PNL justru menjadi monumen senyap dari ambisi infrastruktur yang belum rampung menjadi fungsi.
Bangunan Rumah Susun Mahasiswa (Rusunawa) yang berdiri di kompleks PNL itu merupakan bagian dari proyek Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) tahun anggaran 2021–2022, dengan sistem Multiyears Contract (MYC). Pekerjaan dilaksanakan oleh pihak ketiga: PT. Sumber Alam Sejahtera, dan diawasi oleh konsultan independen serta Balai Prasarana Permukiman Wilayah Aceh (BPPW Aceh).
Namun alih-alih selesai dan langsung digunakan, bangunan ini masih dalam kondisi terbengkalai. Data pengamatan yang dikumpulkan sejak tahun 2022 menunjukkan kerusakan struktural di beberapa bagian, terutama di lantai tiga, serta indikasi belum rampungnya pekerjaan konstruksi secara menyeluruh.
Dalam wawancara eksklusif, Amel, seorang pekerja dari kontraktor pelaksana menyampaikan bahwa ia hanya terlibat di tahap finishing. “Saya baru masuk saat proyek tahap finishing. Keterlambatan ini karena pandemi, dan itu sudah diketahui Satker,” katanya Selasa (10/6/2025).
Amel membantah soal adanya kemiringan atau retakan. Ia mengklaim pembayaran sudah sesuai termin. Namun ketika ditanya soal kualitas pondasi, ia mengaku tak tahu-menahu. Menariknya, ia enggan bicara soal dana lebih lanjut. “Itu urusan kantor pusat dan Balai PU Aceh,” ujarnya singkat.
Pernyataan ini mempertegas adanya kerumitan multilapis dalam pelaksanaan proyek, serta kabut tebal dalam akuntabilitas dan siapa yang seharusnya bertanggung jawab terhadap kegagalan fungsi bangunan tersebut.
Pihak Politeknik Negeri Lhokseumawe sendiri menyatakan tidak punya kewenangan untuk menyentuh proyek tersebut. Ir. Muhammad Hatta, Koordinator Humas PNL mengatakan, “Kami hanya diminta menyediakan lahan dan izin. Itu kami penuhi. Tapi bangunan belum juga diserahkan ke kami.”
Secara administratif, kata Hatta, bangunan tersebut belum masuk dalam Barang Milik Negara (BMN) yang bisa dicatat sebagai aset institusi, dan karena itu tidak bisa digunakan, apalagi dirawat. “Kalau pun kami paksakan, tidak boleh. Mekanismenya belum selesai. Tanyakan ke kementerian PUPR,” tambahnya.
Ketika ditanya soal dugaan keterlibatan “orang dalam” kampus dalam proyek ini, Hatta menjawab diplomatis, “Kalau memang ada keterlibatan oknum, silakan ungkapkan saja. Karena dari awal, nama Politeknik kerap dibawa-bawa.”
Ketertinggalan proyek ini menimbulkan pertanyaan besar di tengah masyarakat akademik. Banyak mahasiswa dari daerah pelosok Aceh dan luar provinsi tidak mampu menyewa kos, bahkan tinggal berpindah-pindah.
“Bangunan yang seharusnya menjadi solusi, justru menjadi beban psikologis dan simbol ketidakberdayaan,” ujar salah satu mahasiswa, yang enggan disebut namanya.

Secara geografis, kawasan PNL berada di jantung Lhokseumawe, kota transit mahasiswa dari Bireuen, Aceh Tengah, Aceh Timur hingga Pulau Banyak. Rusunawa semestinya menopang sistem pendidikan berbasis vokasi yang sedang digalakkan pemerintah.
Kasus ini tidak berdiri sendiri. Informasi yang diperoleh dari sumber internal menyebutkan bahwa proyek ini sedang disorot aparat penegak hukum. Beberapa nama dari rekanan dikabarkan telah masuk dalam radar penyelidikan atas dugaan penyimpangan dalam pelaksanaan kontrak.
Dokumen yang dimiliki redaksi menyebutkan bahwa nilai kontrak Rp14.072.062.000 bersumber dari APBN Kementerian PUPR. Saat ini, belum ada pengumuman resmi mengenai tersangka, namun proyek ini masuk dalam daftar pengawasan khusus dari pihak penegak hukum.
Pembangunan Rusunawa PNL menunjukkan bagaimana proyek infrastruktur pemerintah dapat tergelincir dari niat ke fungsi, dari rencana ke polemik. Keterlambatan, ketidakterbukaan, dan kekaburan status aset memperlihatkan ketidaksinkronan antar lembaga negara yang ironisnya berdiri di tengah institusi pendidikan vokasi unggulan. (Firdaus/Trinugroho)