Lhoksukon, Harianpaparazzi – Setelah enam bulan menunggu kepastian, delapan pejabat akhirnya dilantik dalam Jabatan Pimpinan Tinggi (JPT) Pratama Pemkab Aceh Utara pada Jumat (7/2/2025). Pelantikan ini dilakukan sebelum masa jabatan Pj Bupati Mahyuzar berakhir. Namun, di balik seremoni ini, publik justru menyoroti keputusan kontroversial terkait penempatan jabatan.
Dari 28 peserta seleksi JPT, hanya 16 orang yang dinyatakan lolos, lalu disaring kembali menjadi delapan nama. Yang mengejutkan, Kusairi, ST, MSM—yang berlatar belakang teknik—dilantik menjadi Kepala Dinas Perdagangan, Perindustrian, Koperasi, dan UKM. Sebelumnya, ia menjabat sebagai Kabid Tata Bangunan di Dinas Perkim. Hal ini memicu pertanyaan publik mengenai relevansi kompetensi dan bidang kerja.
Lebih jauh, rekam jejak Kusairi juga menjadi perbincangan. Saat masih menjabat sebagai Kabid di Dinas Perkim, ia terlibat dalam persoalan Gedung Bappeda yang hingga kini belum dapat difungsikan. Dalam wawancara dengan media, Kusairi menyatakan meski belum memiliki fasilitas listrik dan air, gedung tersebut tetap bisa ditempati, dengan perbaikan yang diajukan dalam anggaran selanjutnya. Namun, hingga kini, penyelesaian proyek tersebut masih menjadi pekerjaan rumah.
Pelantikan yang berlarut-larut ini sempat memicu spekulasi politik. Beberapa pejabat yang lolos seleksi bahkan dikabarkan mempertanyakan kejelasan proses sebelum akhirnya dilantik. Faktor persetujuan Mendagri disebut sebagai alasan utama keterlambatan. Namun, muncul juga spekulasi adanya faktor lain di balik penundaan ini.
Dalam pidatonya, Mahyuzar menegaskan bahwa rotasi dan promosi jabatan adalah hal wajar dalam birokrasi. Ia menekankan bahwa proses pelantikan ini sudah sesuai mekanisme, termasuk persetujuan dari Mendagri dan koordinasi dengan bupati serta wakil bupati terpilih.
Mahyuzar berharap agar para pejabat yang dilantik segera menjalankan Instruksi Presiden Nomor 1 Tahun 2025 terkait efisiensi belanja, mengingat anggaran yang tersedia semakin terbatas.
Saiful MDA, salah seorang warga Lhoksukon, melihat bahwa kebijakan ini lebih bernuansa politik ketimbang teknokratis. Penempatan pejabat dalam struktur pemerintahan seharusnya mempertimbangkan latar belakang dan keahlian agar birokrasi berjalan efektif. Fenomena ini kembali menguatkan persepsi bahwa jabatan strategis kerap kali lebih ditentukan oleh kompromi politik ketimbang kapasitas profesional.
Harapan nya delapan pejabat baru harus membuktikan mereka mampu menjalankan amanah meski di tengah sorotan tajam. Selain itu mereka akan juga menunjukkan pengabdian terbaik, atau justru semakin mempertegas kekecewaan publik terhadap tata kelola birokrasi saat ini. (firdaus)