Lhokseumawe, harianpaparazzi.com – Bermula dari pemberitaan proyek normalisasi Alue Masyik-Alue Gunto di Kecamatan Tanah Luas yang menelan anggaran Rp 1,6 miliar, oknum anggota DPRA Armiadi menyatakan akan membawa wartawan ke ranah hukum dengan tuduhan pelanggaran Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE).
Proyek yang seharusnya menjadi solusi untuk pengendalian banjir itu dikritik karena hasilnya dinilai tidak memuaskan. Dalam pemberitaan, wartawan menyoroti kondisi dangkalnya saluran yang baru dinormalisasi.
Namun, Armiadi merasa pemberitaan tersebut menyudutkan proyek yang bersumber dari pokir nya. Diduga, hal tersebut dilakukan karena ia merasa kuat usai mengkondisikan sejumlah pihak dalam proyeknya itu dengan istilah setoran kiri dan kanan.
“Saya sudah siapkan tim hukum dan sedang mengumpulkan bukti. Saya tunggu di pengadilan ,” tegas Armiadi dalam percakapan WhatsApp dengan Wartawan di PWI Bernama Tri Nugroho Panggabean.
Namun, langkah Armiadi mengancam wartawan justru mendapat kecaman keras dari Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) Lhokseumawe. Ketua PWI Lhokseumawe, Sayuti Achmad, menyatakan bahwa tindakan Armiadi mencerminkan sikap anti-kritik yang bertentangan dengan prinsip demokrasi.
“Proyek dengan anggaran publik seperti ini memang harus diawasi oleh media dan masyarakat. Tugas pers adalah kontrol sosial, bukan musuh pemerintah atau politisi. Kami akan membela penuh anggota kami, dan PWI siap menghadapi ini, bahkan dalam perang terbuka sekalipun,” ujar Sayuti.
Sayuti juga mengaku, akan mengupas semua persoalan proyek di lapangan berdasarkan informasi yang telah didapat oleh anggotanya, termasuk sumber Bahan Bakar Minyak (BBM) yang digunakan pada alat berat di lapangan. Ia juga memberikan sinyal jika isu ini bakal menjadi isu nasional, dan banyak pihak yang terseret.
Sayuti menilai Armiadi terlalu reaktif dan tidak memahami fungsi pers sebagai pilar keempat demokrasi. Ia juga menekankan bahwa ancaman hukum menggunakan UU ITE terhadap wartawan dapat dianggap sebagai upaya pembungkaman kebebasan pers.
“Kritik dalam pemberitaan adalah bentuk tanggung jawab pers terhadap uang rakyat. Politisi yang tak siap dikritik sebaiknya berpikir ulang untuk menduduki jabatan publik, pers punya hak impunitas dalam bertugas merujuk pada UU No 40 Tahun 1999,” tegas Sayuti yang juga menjabat sebagai Ketua Jaringan Media Siber Indonesia (JMSI) Lhokseumawe – Aceh Utara.
Dia juga mendesak Aparat Penegak Hukum (APH) turun untuk mengusut dan melakukan penyelidikan terhadap proyek bersumber APBA Itu.
Sementara itu, beberapa pihak menilai langkah Armiadi untuk melaporkan wartawan justru bisa menjadi bumerang.
“Kalau sampai ini ke ranah hukum, yang akan terungkap bukan hanya wartawan, tapi juga bagaimana transparansi proyek itu. Ini ibarat menggenggam telur busuk; begitu pecah, baunya akan menyebar ke mana-mana,” kata tokoh publik di Lhokseumawe.
Hingga berita ini ditulis, proyek normalisasi Alue Masyik-Alue Gunto masih menjadi sorotan publik. Masyarakat berharap anggaran yang digunakan dapat memberikan manfaat nyata, sementara pers menegaskan komitmennya untuk mengawasi jalannya proyek-proyek serupa.
Kisruh antara politisi dan pers ini menjadi pengingat pentingnya memahami fungsi masing-masing institusi dalam demokrasi. Apakah ancaman hukum ini akan menjadi preseden buruk bagi kebebasan pers di Aceh? Ataukah sebaliknya, ini justru akan membuka tabir transparansi proyek pemerintah? Waktu yang akan menjawab. (Fajar/Tri)