Menu

Mode Gelap
Gubernur Aceh Pimpin Upacara Hari Bhayangkara di Blang Padang PTPL Harapan Di antara Janji Direksi Baru Pesawat Charter PT PGE Resmi Mengudara: Dukung Mobilitas Industri Migas Aceh Sinergi Dua Sayuti, Pers dan Pemerintah Sepakat Dukung Pembangunan Kota Lhokseumawe Kemendagri Evaluasi Qanun Pajak dan Retribusi, DPRK Aceh Utara Gelar Pembahasan Lanjutan Pengadilan Lhoksukon: Sidang yang Menguji Hati Nurani Agraria

Aceh

JERITAN YANG TAK DIDENGAR: Limbah PKS Bugak Palma Sejahtera dan Sungai yang Mati Perlahan

badge-check


					JERITAN YANG TAK DIDENGAR: Limbah PKS Bugak Palma Sejahtera dan Sungai yang Mati Perlahan Perbesar

IDI, Harianpaparazzi.com – Sungai itu dulu tempat anak-anak bermain, tempat para ibu mencuci kain, dan para petani sawit menyegarkan badan seusai kerja. Tapi semua berubah sejak lima tahun terakhir. Warna airnya kini legam, baunya menyengat, dan rasa perih muncul di kulit setiap kali bersentuhan. Sungai itu menjerit. Tapi jeritan itu, hingga kini, belum benar-benar didengar.

“Kalau air itu diminum, bisa langsung muntah. Saya sudah coba sendiri,” ujar Muhammad, warga desa Alue Mirah, dengan mata menyipit menahan kenangan buruk. Ia bukan satu-satunya. Warga dari Jamboe Balee hingga Jamboe Lubok mengalami gejala serupa: gatal-gatal, ruam kulit, bahkan pembengkakan di wajah. Semua menunjuk pada satu sumber: kolam limbah di belakang pabrik kelapa sawit milik PT. Bugak Palma Sejahtera.

Di balik pagar beton dan tanggul dua meter lebih, belasan kolam tanah mengandung cairan pekat hitam berdetak diam menyimpan cairan buangan yang dilepaskan ke sungai ketika hujan deras datang. “Kalau hujan, air meluap dan limbah itu mengalir,” kata Suryadi, warga setempat, menunjuk arah alur ke sungai kecil yang menuju permukiman.

Tanggung Jawab yang Menguap di Antara Kolam
Secara administratif, perusahaan ini memiliki izin SPPL yang dikeluarkan oleh DLHK Aceh Timur sejak 2022. Humas perusahaan, Syahrial Kepala bagian humas, menegaskan, “Perusahaan tidak pernah membuang limbah ke sungai. Itu semua hanya isu yang digoreng warga. Saya anak kampung di sini, mana mungkin saya merusak lingkungan saya. ”

Namun, pernyataan itu mulai retak ketika fakta lain muncul. Syahrial sendiri mengakui bahwa perusahaan pernah diberikan selama tiga bulan oleh DLHK Provinsi Aceh, namun dirinya membantah kalau itu sangsi yang berikan pemerintah dengan tuntutan menambah jumlah kolam penampung. “Dulu 11 kolam, sekarang 13 kolam. Ukurannya 50×30 meter,” jelasnya.

Namun anehnya, ketika diminta menunjukkan data hasil laboratorium pengujian air secara transparan, pihak perusahaan tidak dapat menyediakannya. Ia hanya menyebut, “Sudah kami serahkan ke DLHK tiap bulan.” Tapi, data itu belum pernah dilihat oleh warga dan belum pernah dipublikasikan pihak perusahaan.

Dalam penelusuran dokumen resmi, DLHK memang pernah mengambil sampel dari sungai di sekitar pabrik pada pertengahan 2022. Namun, hasil uji laboratorium tidak pernah dipublikasikan ke publik.

Pabrik Sawit, Pagar Beton, dan Rasa Percaya yang Retak
Geuchik Jamboe Balee, Mustawaili, saat dikonfirmasi, Sabtu (14/06), mengatakan bahwa aliran sungai tidak langsung menuju wilayahnya. Namun ia menyatakan kesiapannya untuk berpihak kepada rakyat jika terjadi pencemaran.

“Mereka bilang limbah itu lebih bersih dari air sungai. Tapi kenapa anak saya gatal-gatal habis mandi?” lirih seorang ibu muda sambil menggendong balitanya yang masih menggaruk leher.

Menurut Suryadi warga mantan ketua pemuda, Ironis, pihak perusahaan justru menyatakan bahwa “limbah mereka lebih bersih dari sungai,” dan menuding warga “mencari ikan pakai setrum.” Padahal, di sinilah titik buta narasi. Bukannya mengedepankan transparansi, perusahaan justru menjawab dengan pembelaan emosional, bukan data yang bisa diuji publik.

Hukum dan Ketimpangan Informasi
Secara hukum, setiap perusahaan yang melakukan aktivitas produksi besar dengan potensi limbah, wajib memiliki AMDAL atau UKL-UPL yang dilengkapi sistem pengolahan limbah (IPAL). Dalam hal ini, PT. Bugak Palma memang mengaku memiliki kolam limbah, tapi semuanya dibuat dari tanah, bukan beton, dan hanya satu yang katanya berbahan besi.

“Kalau semua kolam harus beton, berarti semua PKS di Aceh salah dan kami tidak mau disalahkan begitu saja,” kata Syahrial.

Dalam Perlu ditegaskan bahwa pencemaran lingkungan bukan hanya pelanggaran administratif. Dalam hukum lingkungan hidup, jika terbukti sengaja atau lalai membuang limbah berbahaya ke lingkungan tanpa pengolahan memadai, pelakunya dapat dijerat pidana.

Jeritan yang Terakhir: Harapan untuk Sungai yang Sehat
Warga kini meminta satu hal, hentikan pembuangan limbah ke sungai. Mereka sudah cukup menderita. Bukan permintaan besar, hanya minta sungai tidak lagi jadi saluran racun. “Kalau pun dibuang ke sungai, jangan lagi cemari air yang dipakai anak-anak kami,” ujar seorang warga.

Mereka tahu mereka kecil. Tapi jeritan mereka bukan isapan jempol. Ketika pemerintah tak hadir, dan perusahaan merasa cukup dengan pagar tinggi, siapa yang melindungi sungai itu.

Suryadi menutup dengan satu pernyataan getir, “Kalau pemerintah mau cek, silakan. Ambil air sungai itu sekarang, kami tidak melarang. Tapi jangan tunggu sampai semuanya terlambat.” (firdaus)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Baca Lainnya

Gas Mengalir Triliunan, Aceh Hanya Terima Rp26,7 Miliar: Transparansi Blok B Dipertanyakan

1 Juli 2025 - 16:02 WIB

Gubernur Aceh Pimpin Upacara Hari Bhayangkara di Blang Padang

1 Juli 2025 - 12:21 WIB

Peringatan HUT Bhayangkara ke-79, Ini Harapan Kapolres Aceh Tenggara

1 Juli 2025 - 12:19 WIB

PTPL Harapan Di antara Janji Direksi Baru

30 Juni 2025 - 22:43 WIB

Panglong Liar Menjamur di Lhokseumawe, Diduga Tampung Kayu Curian

28 Juni 2025 - 22:55 WIB

Trending di Aceh