Lhokseumawe, harianpaparazzi.com — Dugaan praktik “beli pasien” di Rumah Sakit Kasih Ibu Lhokseumawe kembali memicu perhatian publik. Bidan desa dan sopir ambulans diduga terlibat dalam skema yang merugikan pasien dan sistem kesehatan.
Berdasarkan laporan, para bidan desa di Aceh Utara dan Lhokseumawe diduga menerima imbalan Rp500 ribu, sementara sopir ambulans mendapatkan Rp300 ribu untuk membawa pasien ke RS Kasih Ibu.
Meskipun, keluarga pasien mengarahkan ke RSU Cut Mutia kerena dinilai lebih lengkap dan mampu menangani pasien dengan lebih baik.
Praktik ini disebut-sebut hanya menguntungkan pihak rumah sakit, sementara pasien menjadi korban eksploitasi. Setelah dirujuk ke RS Kasih Ibu, banyak pasien akhirnya dikirim kembali ke RSU Cut Mutia, meski perawatan awal sebenarnya bisa langsung dilakukan di sana.
Eksploitasi Pasien dan Klaim BPJS
Skema ini dianggap sangat merugikan, tidak hanya bagi pasien, tetapi juga BPJS Kesehatan. Pasien yang seharusnya mendapatkan perawatan di rumah sakit dengan fasilitas lebih lengkap, malah terjebak dalam proses rujukan yang panjang.
Akibatnya, waktu perawatan menjadi lebih lama, biaya transportasi meningkat, dan kondisi kesehatan pasien sering kali memburuk karena penanganan terlambat.
Lebih parah lagi, skema ini diduga juga menyasar klaim BPJS Kesehatan. Klaim ganda dari RS Kasih Ibu dan RSU Cut Mutia dinilai membebani BPJS Kesehatan, yang semestinya digunakan dengan lebih efisien.
Praktik semacam ini dikhawatirkan memperburuk kondisi keuangan BPJS yang sudah menghadapi tekanan dari banyak klaim masyarakat.
Pembelaan Direktur
Direktur RS Kasih Ibu, yang disapa Zul dalam pertemuan informal dengan wartawan di Delima Kupi, Lhokseumawe, mengakui adanya insentif bagi bidan dan sopir ambulans.
Namun, ia membela praktik tersebut sebagai bagian dari strategi pemasaran yang “wajar” untuk menarik pasien. Ia menolak anggapan bahwa tindakan tersebut merugikan pasien dan menganggapnya sebagai langkah biasa dalam bisnis layanan kesehatan.
“Ada dilakukan oleh rumah sakit yang lain,” kata Direktur didampingi Humas yang kemudian mengaku sebagai tenaga Administrasi.
Pentingnya Tindakan Tegas
Dugaan praktik ini mendesak pihak berwenang, termasuk dinas kesehatan dan aparat hukum, untuk segera melakukan investigasi menyeluruh.
Sistem rujukan harus berjalan sesuai regulasi dan tidak boleh disalahgunakan demi keuntungan pribadi.
Pasien berhak atas pelayanan yang layak dan sesuai kebutuhan medis, bukan diarahkan hanya untuk kepentingan finansial rumah sakit.
Masyarakat juga perlu lebih waspada terhadap praktik-praktik semacam ini dan memastikan layanan kesehatan yang mereka terima sesuai dengan etika medis yang berlaku.
Jika praktik “beli pasien” ini tidak segera ditindak, integritas sistem kesehatan di wilayah ini bisa rusak, merugikan pasien dan masyarakat luas. (Haikal)