Banda Aceh, Harianpaparazzi.com – Di tengah kemeriahan peringatan Hari Kesehatan Jiwa Sedunia (HKSJ) 2025 yang digelar di Anjong Mon Mata, Komplek Meuligoe Gubernur Aceh, Jumat (10/10/2025), suasana terasa berbeda. Tak sekadar seremoni, peringatan kali ini menjadi ruang renung: tentang luka-luka yang tak tampak, tentang mereka yang diam dalam derita.
Salah satu yang hadir pagi itu adalah Fitri, seorang ibu dari Lhokseumawe yang datang bersama anaknya yang menderita gangguan bipolar. Ia duduk di barisan belakang, menatap layar yang menampilkan data: 19.902 warga Aceh mengalami gangguan kesehatan jiwa. Fitri menunduk pelan, seolah angka itu bukan sekadar statistik — tapi cermin dari kisah hidup yang sedang ia jalani.
“Anak saya dulu ceria sekali, tapi setelah tsunami dan konflik, dia berubah. Kami tak tahu harus ke mana mencari bantuan,” katanya lirih.
Pemerintah Aceh menyadari masih banyak kisah seperti Fitri. Karena itu, lewat momentum HKSJ, Sekretaris Daerah Aceh, M. Nasir, menegaskan komitmen pemerintah untuk memperkuat sistem layanan kesehatan jiwa di seluruh rumah sakit dan puskesmas di Aceh.
“Peringatan Hari Kesehatan Jiwa Sedunia ini bukan sekadar seremoni, tapi momentum moral untuk memperluas akses layanan kesehatan jiwa,” ujar Nasir.
Hingga Agustus 2025, data menunjukkan 13.573 kasus gangguan jiwa berat dan 114 pasien masih dalam kondisi pasung. Praktik pemasungan, kata Nasir, bukan hanya melanggar hak asasi manusia, tapi juga memperparah penderitaan pasien dan keluarganya.
“Kesehatan jiwa adalah hak fundamental. Tak seorang pun seharusnya dibiarkan menderita tanpa penanganan,” tegasnya.
Dalam acara tersebut, Pemerintah Aceh juga memberikan penghargaan kepada sembilan kabupaten yang dinilai peduli terhadap kesehatan jiwa: Aceh Utara, Pidie Jaya, Bireuen, Simeulue, Gayo Lues, Aceh Jaya, Aceh Barat, Pidie, dan Aceh Barat Daya.
Bagi mereka, penghargaan bukan sekadar simbol, tapi pengakuan atas upaya di akar rumput untuk memulihkan masyarakat yang selama ini berjuang sendiri melawan stigma.
“Kabupaten yang peduli kesehatan jiwa sesungguhnya sedang membangun fondasi masyarakat yang lebih sehat dan berdaya,” tambah Nasir.
Sementara itu, Plh Direktur Rumah Sakit Jiwa Aceh, drg. Sarifah Yessi Hediyati, yang juga Ketua Panitia acara, mengatakan Aceh dipilih menjadi tuan rumah HKSJ 2025 karena sejarah panjang wilayah ini dengan trauma bencana dan konflik.
“Banyak anak, perempuan, dan lansia yang menyimpan trauma mendalam. Aceh adalah laboratorium empati — di mana luka masa lalu menuntut kita untuk lebih peka,” ujarnya.
Selain peringatan HKSJ, Aceh juga menjadi tuan rumah Musyawarah Nasional Asosiasi Rumah Sakit Jiwa dan Rumah Sakit Ketergantungan Obat Indonesia (Arsawakoi) yang berlangsung 8–9 Oktober 2025. Munas ini dihadiri oleh para direktur rumah sakit jiwa se-Indonesia dan pejabat Kementerian Kesehatan RI.
Membangun Empati, Menyembuhkan Luka
Peringatan HKSJ di Aceh tahun ini mengingatkan bahwa gangguan jiwa bukan hanya tentang pasien, tapi tentang keluarga, tetangga, dan masyarakat yang turut menanggung beban. Bahwa pemulihan tidak hanya soal obat dan terapi, tetapi juga soal penerimaan, empati, dan keberanian membuka mata terhadap luka-luka yang selama ini disembunyikan.
Fitri masih duduk di kursinya hingga acara usai. Ia tersenyum kecil, menatap para pejabat yang berfoto di panggung. Katanya, “Semoga tahun depan anak saya bisa ikut berdiri di sana, bukan sebagai pasien, tapi sebagai orang yang sudah sembuh.”
Aceh telah lama menjadi ruang bagi cerita kehilangan dan pemulihan. Dan mungkin, dari peringatan HKSJ 2025 inilah, semangat itu kembali menemukan bentuknya , bahwa kesehatan jiwa bukan urusan segelintir orang, tapi cermin dari kemanusiaan kita bersama.







