Di antara puluhan peserta Uji Kompetensi Wartawan (UKW) PWI Lhokseumawe Angkatan ke-20, ada satu sosok yang kisah inspiratif yang kedatangannya lebih berat daripada seluruh ujian tertulis, wawancara, atau praktik jurnalistik yang harus ia jalani. Ia adalah Muhammadinsyah, seorang wartawan asal Bener Meriah, yang perjalanannya menuju UKW menjadi cermin keteguhan, dedikasi, dan pengorbanan seorang jurnalis sejati.
Rute yang ditempuh Muhammadinsyah bukanlah rute biasa. Banjir bandang yang melanda Aceh beberapa hari sebelumnya merusak akses utama Bener Meriah – Simpang KKA. Gunung runtuh, jalan terputus, dan sejumlah kawasan terisolir. Di tengah situasi itu, masyarakat setempat bahu-membahu membuka jalur darurat, sebuah jalan tanah tanpa struktur yang hanya cukup untuk pejalan kaki dan pengangkut logistik.
Namun dari jalur itulah, perjalanan luar biasa seorang wartawan dimulai.
Sebelum berangkat ke Lhokseumawe untuk mengikuti UKW, Muhammadinsyah terlebih dulu menyempatkan diri menempuh rute berbeda menuju Aceh Tengah. Di sana, istrinya terisolir akibat bencana. Ia datang bukan hanya membawa kebutuhan, tetapi juga membawa ketenangan dan harapan bagi keluarga kecilnya.
Dari istrinya pula, restu itu datang.
Dengan izin yang penuh doa, ia pamit dari rumah sederhana di tengah gangguan akses, lalu melangkah kembali menuju perjalanan panjang, kali ini menuju UKW, sebuah momentum untuk membuktikan kemampuannya sebagai wartawan kompeten.
Perjalanan dari Bener Meriah menuju Simpang KKA adalah rangkaian ujian fisik yang tak terbayangkan oleh banyak orang.
Tanah becek menahan setiap langkahnya. Lumpur setinggi mata kaki melekat pada sepatu, membuat kaki terasa berat seperti membawa beban berkali lipat. Setiap beberapa meter, reruntuhan pohon dan bongkahan tanah menghalangi jalan, memaksanya memanjat atau mencari pijakan aman di tepi lereng.
Gunung yang pernah tersapu longsor menyisakan dinding tanah berwarna cokelat kehitaman, seolah menunjukkan jejak amarah alam yang belum sepenuhnya reda. Embusan angin membawa aroma tanah basah, menjadi latar dari langkah penuh ketekunan seorang jurnalis yang menolak menyerah.
Keringat membasahi tubuhnya, tapi semangat dalam dirinya sama sekali tak luntur.
“Saya harus sampai. Ini perjuangan saya sebagai wartawan,” ucapnya dalam hati setiap kali napasnya mulai berat.
Beberapa warga yang ia temui memberi salam dan anggukan simpati. Mereka tahu, siapapun yang berani melintasi jalur itu bukan orang biasa, apalagi seorang wartawan yang hendak mengikuti ujian kompetensi.
Berjam-jam kemudian, setelah menaklukkan medan lumpur, mendaki lereng licin, dan menembus jalur yang seolah menguji keteguhan mental, Muhammadinsyah akhirnya mencapai titik aman yang bisa dilalui kendaraan menuju Lhokseumawe.
Langkah itu mungkin tampak kecil, tetapi maknanya begitu besar.
Ia tidak datang ke UKW hanya dengan membawa materi ujian, pena, dan kertas. Ia datang dengan membawa cerita, sebuah cerita yang ditulis oleh langkah kaki, tekad kuat, dan restu keluarga.
Di ruangan UKW, ketika ia duduk di kursi peserta, hanya Muhammadinsyah yang tahu pasti betapa jauhnya perjalanan yang telah ia tempuh untuk sampai di sana. Betapa nilai kompetensi yang ingin ia dapatkan bukan hanya pencapaian individu, tetapi juga wujud penghargaan atas profesinya dan pengorbanan keluarga kecilnya.
Kisah ini menjadi pengingat bahwa wartawan bukan hanya pencatat peristiwa, tetapi juga pejuang sunyi yang kerap menembus rintangan demi menjalankan tanggung jawab profesi.
Dari seorang wartawan Bener Meriah bernama Muhammadinsyah, kita belajar bahwa kompetensi sejati bukan hanya diuji di atas meja ujian, tetapi juga dalam perjalanan panjang yang penuh lumpur, kelelahan, dan keteguhan hati.
Ia berjalan, mendaki, dan terus melangkah bukan karena terpaksa, tetapi karena ia percaya: menjadi wartawan kompeten adalah kehormatan, dan setiap kehormatan layak diperjuangkan, bahkan bila harus melintasi gunung yang runtuh.







