Banda Aceh, Harianpaparazzi.com – Nama Dr Tgk H Ajidar Matsyah Lc MA sempat menjadi sorotan dalam seleksi Komisioner Baitul Mal Aceh 2025. Alumni Dayah Darul Ulum Tanoh Mirah, Peusangan, Bireuen, ini mencatat nilai tertinggi dalam seluruh tahapan seleksi, mulai dari administrasi, ujian CAT, hingga wawancara. Keberhasilan akademis dan integritasnya semestinya mengantarkannya ke kursi komisioner, namun nasib berkata lain.
Tgk Ajidar, yang juga pimpinan Dayah Tinggi Islam Samudera Pase di Baktiya, Aceh Utara, dikenal sebagai cendekiawan yang memadukan tradisi pesantren dengan pendidikan tinggi modern. Ia mengajar di Fakultas Adab dan Humaniora UIN Ar-Raniry Banda Aceh serta mendirikan Sekolah Tinggi Ilmu Ekonomi Syariah (STIES) Baktiya. Kiprah akademis dan sosialnya membuatnya menjadi kandidat ideal untuk lembaga yang mengelola zakat, infak, dan dana sosial umat di Aceh.
Namun, meski menempati peringkat pertama versi Panitia Seleksi (Pansel), nama Tgk Ajidar kandas di tahap akhir pembahasan Komisi VII Dewan Perwakilan Rakyat Aceh (DPRA). Komisi yang beranggotakan perwakilan partai politik seperti PPP, PA, Demokrat, NasDem, Golkar, PKB, Gerindra, PKS, PAN, dan PAS memiliki kewenangan penuh menentukan hasil akhir, yang dinilai sebagian pihak lebih dipengaruhi oleh politik daripada kompetensi.
Ketua Ikatan Alumni Tanoh Mirah, Tgk Mustafa Isa (Waled Pulo), menyatakan kekecewaannya: “Semua proses sudah beliau lalui, bahkan dengan nilai tertinggi. Kami tentu sedikit kecewa karena kapasitas dan rekam jejak beliau sudah sangat jelas.” Fakta ini menegaskan adanya kontras antara prestasi individu dan keputusan politik, yang membuat publik bertanya-tanya tentang objektivitas seleksi lembaga publik di Aceh.
Prestasi dan integritas tidak selalu mendapatkan penghargaan jabatan, tetapi tetap memiliki nilai tersendiri dalam masyarakat. Kegagalan Tgk Ajidar menjadi pengingat bahwa amanah dan kontribusi nyata tidak harus datang dari posisi resmi. Bahkan tanpa jabatan formal, pengaruh dan dedikasi dalam pendidikan serta pemberdayaan umat tetap berdampak luas.
Keputusan yang menyingkirkan kandidat berintegritas tinggi menunjukkan dominasi kepentingan politik di atas meritokrasi. Publik Aceh diingatkan agar terus mengawasi proses seleksi, sehingga kualitas lembaga publik tidak tergerus oleh kompromi politik semata.
Tgk Ajidar menjadi simbol cendekiawan yang “ditakuti” oleh politik yang biasa berjalan di belakang layar. Namanya mencerminkan kompetensi, integritas, dan keberanian akademik, yang seharusnya menjadi tolok ukur utama dalam penentuan pejabat publik.
Meski gagal menempati kursi komisioner, kisah Tgk Ajidar memberi inspirasi bahwa prestasi, integritas, dan dedikasi nyata lebih berharga daripada jabatan formal. Amanah sosial dan kontribusi dalam pendidikan Islam tetap menjadi warisan yang hidup, bahkan ketika politik partai mencoba menggeser kandidat terbaik.( Tri)







