Menu

Mode Gelap
Bupati Ultimatum PT. PN Cot Girek: Dua Bulan Selesaikan Kisruh Lahan Sawit atau Warga Bebas Kuasai Lahan Gubernur Aceh Tegas Tolak Rencana Pusat Potong Dana Transfer ke Daerah Kasus Dr. Suci: Ketika Keadilan Digeser Menjadi Tawar-Menawar, di duga Wartawan Jadi “Juru Damai Berbayar”? “Ada Apa di Balik Chromebook? K3S Enggan Bicara, Publik Curiga” Ditemukan Belatung di Bed Pasien RSU Cut Meutia, Direktur Akui Kelalaian dan Minta Maaf Roda Pemerintahan Ikut Strok Saat Peringatan Pancasila, Warga Aceh Utara Kritisi PLN

News

Kasus Dr. Suci: Ketika Keadilan Digeser Menjadi Tawar-Menawar, di duga Wartawan Jadi “Juru Damai Berbayar”?

badge-check


					Kasus Dr. Suci: Ketika Keadilan Digeser Menjadi Tawar-Menawar, di duga Wartawan Jadi “Juru Damai Berbayar”? Perbesar

Aceh Timur, Harianpaparazzi.com – Ironi hukum kembali dipertontonkan di ruang publik Aceh. Kasus kecelakaan lalu lintas yang menjerat dr. Suci Magfira, seorang tenaga medis yang mestinya dihormati karena pengabdiannya, justru berbelok arah menjadi ajang tawar-menawar. Yang lebih menyedihkan, keluarga korban tidak berdiri sendiri. Ada “pendampingan” dari dua oknum wartawan yang entah mengapa begitu aktif mengatur skema kompensasi, seolah-olah mereka adalah pengacara atau jaksa.

Mari kita tarik garis lurus: keluarga korban menuntut ganti rugi Rp300 juta. Dokter Suci, dengan segala keterbatasannya, hanya sanggup Rp100 juta. Tawaran itu ditolak. Hasil akhirnya? Dokter divonis delapan bulan penjara, sementara keluarga korban masih meluapkan kekecewaannya dengan dalih “hukum tidak berpihak pada mereka.”

Pertanyaannya sederhana tapi menohok: apakah keadilan sekarang berubah menjadi soal angka di meja perundingan? Apakah nyawa dan luka diukur dengan nominal ratusan juta yang ditetapkan sepihak?

Ayah Korban, Tuntutan atau Pemerasan?

Ayah korban begitu lantang menyuarakan bahwa putusan hakim dan tuntutan jaksa tidak adil. Namun publik juga berhak bertanya balik: adilkah ketika keluarga korban mematok angka Rp300 juta, lalu menolak Rp100 juta, seolah-olah keadilan bisa dibeli sesuai harga pasar?

Keadilan bukanlah pasar ikan, tempat orang bisa menawar dengan keras dan menolak dengan congkak. Jika keluarga korban benar-benar ingin mencari keadilan, jalurnya adalah hukum, bukan negosiasi penuh angka fantastis yang jelas-jelas menekan pihak lain.

Lebih ironis lagi, penolakan Rp100 juta itu justru membuka babak baru: masuk ke pengadilan, lalu akhirnya mengantar dr. Suci ke jeruji besi. Ayah korban kemudian muncul ke publik, menangis tentang ketidakadilan, padahal ia sendiri menutup pintu jalan damai. Bukankah itu paradoks?

Dua Oknum Wartawan, Penjaga Moral atau Calo Kasus?

Yang paling mencoreng wajah profesi pers adalah hadirnya dua oknum wartawan dalam drama ini. Bukannya menjaga independensi, malah tampil sebagai “pendamping keluarga korban.” Fungsi wartawan adalah menyampaikan kebenaran kepada publik, bukan menjadi juru damai berbayar, apalagi memengaruhi keluarga korban untuk menuntut angka tertentu.

Masyarakat tentu bertanya: apa motivasi dua oknum wartawan itu? Apakah benar-benar ingin membantu keluarga korban mencari keadilan? Atau ada agenda lain, seperti memastikan angka ganti rugi yang diminta keluarga tidak turun, demi kepentingan tertentu? Jika benar demikian, maka kita patut menyebut mereka bukan lagi wartawan, melainkan calo kasus dengan kartu pers sebagai jubah palsu.

Profesi wartawan akan hancur jika oknum seperti ini terus dibiarkan. Hari ini mereka mendampingi korban, besok siapa yang tahu, mungkin mereka bisa “mendampingi” tersangka demi upeti lebih besar.

Dr. Suci, Antara Hukum dan Tekanan Sosial

Dr. Suci hanyalah manusia biasa. Ia terjerat kasus kecelakaan yang sebenarnya bisa selesai secara kekeluargaan. Namun, karena ketidakmampuan memenuhi angka Rp300 juta, ia akhirnya dipaksa masuk ke ranah hukum.

Vonis delapan bulan penjara jelas sudah menyakitkan. Tapi yang lebih menyakitkan adalah stigma: seakan-akan ia seorang penjahat, padahal ia juga sudah berupaya bertanggung jawab dengan menawarkan Rp100 juta.

Yang lebih memilukan, dr. Suci bukan hanya seorang dokter. Ia adalah seorang ibu dari dua anak kecil—si sulung baru berusia 4,5 tahun dan si bungsu 2,7 tahun. Dua bocah ini masih membutuhkan belayan kasih, pelukan hangat, dan perhatian penuh dari seorang ibu. Bagaimana mereka bisa tumbuh dengan sehat secara emosional jika ibunya harus dipenjara hanya karena urusan angka yang dipatok tak masuk akal?

Kini, langkah hukum balik sedang dipertimbangkan. Jika laporan terhadap ayah korban dan dua oknum wartawan itu benar-benar dilayangkan, kasus ini bisa menjadi pembelajaran mahal: bahwa tidak semua “pendampingan” adalah niat baik, dan tidak semua tuntutan ganti rugi adalah bentuk keadilan.

Sindiran untuk Keadilan Instan

Mari kita sindir dengan jujur. Jika benar keadilan bisa dibeli Rp300 juta, maka lebih baik pengadilan ditutup saja, diganti dengan pasar lelang. Siapa yang sanggup bayar lebih mahal, dialah yang dianggap benar. Ayah korban bisa menawar, dokter bisa menolak, wartawan bisa jadi juru lelang. Selesai.

Tapi apakah ini yang kita mau dari wajah hukum Aceh? Apakah ini warisan moral untuk generasi muda—bahwa nilai luka dan cacat permanen lebih pantas diperjualbelikan daripada diperjuangkan dengan hati nurani?

Keadilan tidak lahir dari angka. Ia lahir dari kesungguhan semua pihak untuk mencari kebenaran, tanpa ada tekanan, tanpa ada “oknum” yang menunggangi penderitaan.

Kasus dr. Suci membuka mata kita bahwa ada yang salah dalam pola pikir sebagian masyarakat: menjadikan musibah sebagai ladang transaksi. Dan lebih parah lagi, ada oknum yang menempel, mengklaim diri sebagai wartawan, padahal kelakuannya lebih mirip makelar hukum.

Ayah korban boleh terus berteriak soal ketidakadilan, dua oknum wartawan boleh terus bersembunyi di balik kartu pers, tapi publik juga tidak bodoh. Masyarakat tahu membedakan mana korban sejati, mana pelaku pemerasan berkedok tuntutan.

Jika laporan balik benar dilakukan, mari kita tunggu. Siapa tahu justru di balik jeruji nanti, kita akan melihat wajah-wajah baru yang selama ini bersembunyi di balik kata “korban” dan “pendamping.”( tri)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Baca Lainnya

Restuardy Daud: Pemda Pegang Peran Penting Sukseskan Zero ODOL

8 Oktober 2025 - 20:26 WIB

Kortas Tipidkor Sebut Kerugian Negara Kasus PLTU Kalbar Rp1,3 Triliun

6 Oktober 2025 - 21:38 WIB

Puji Kinerja Polda NTB: Komisi III DPR RI Apresiasi Suksesnya Pengamanan MotoGP Mandalika 2025

6 Oktober 2025 - 21:36 WIB

Teater Kolosal “Djenderal Soedirman” dari LSB Muhammadiyah DKI Jakarta Pentas di TIM

6 Oktober 2025 - 11:16 WIB

Warga Bandung Serbu Lanud Husein Sastranegara di Open Base Spesial HUT ke-80 TNI

6 Oktober 2025 - 06:55 WIB

Trending di News