Oleh: M. Nazar
(Dosen IAIN Lhokseumawe)
Konsep Kress
Gunther Kress dan sekelompok pengajar seperti Roger Fowler, Robert Hodge, dan Tony Trew adalah pengajar di Universitas East Anglia. Penerbitan buku Language and Control (1979) menandai kehadiran mereka. Pendekatan mereka dikenal sebagai critical linguistics yang merupakan pengembangan dari teori linguistik.
Kress menyatakan bahwa kajian ideologi membicarakan hubungan bahasa dengan masyarakat dan kebudayaan disebabkan adanya pengaruh tuntutan sosial politik (Kress: 1993). Pengaruh kekuasaan terhadap sejarah politik, sistem masyarakat, nilai, sastra dan budaya membentuk pandangan masyarakat sehingga meyakini suatu ”konsep” atau ”ilmu” sebagai kebenaran yang wajar dinamakan ideologi. Ilmu yang diyakini penguasa dapat membentuk pandangan dunia secara wajar mempercayai pandangan atau ’ilmu’. Pidato Yasser Arafat memperlihatkan hak, kebebasan dan demokrasi, demikian pula dengan pidato Mahathir (Sinar, 2004:17).
Kress berpendapat bahwa ideologi berfungsi membawa wacana yang berbeda-beda ke dalam konfigurasi-konfigurasi tertentu yang kebanyakannya saling mendukung. Tugas ideologi yaitu dapat membawa wacana-wacana yang tak terhingga banyaknya ke dalam satu teks dan kemudian mengupayakan semacam penyelesaian perbedaan, ke arah mana saja yang memungkinkan. Semua bentuk kebahasaan dapat digunakan untuk mengidentifikasikan ’keadaan’ atau ’proses’ yang berfungsi merealisasikan kekuasaan (Kress, 1989:52).
Menurut Kress (1989: 52), kekuasaan atau daya menyangkut hubungan-hubungan perbedaan, baik berupa hubungan perbedaan antara lifter angkat besi dan batang baja seberat 250 kg atau hubungan-hubungan yang berupa dampak-dampak perbedaan dalam tatanan sosial. Oleh karena adanya penyatuan konstan antara bahasa dan masalah-masalah sosial lainnya, bahasa melekat dalam daya sosial dengan beberapa cara: bahasa menandai kekuasaan, merealisasikan kekuasaan, dan bahasa terlibat di mana saja ada perseteruan dan penentangan terhadap kekuasaan.
Tingkat-tingkat perbedaan kekuasaan dapat dilihat melalui metafora ruang dan jarak. Ruang merupakan indikator kekuasaan yang mudah dipahami, misalnya ukuran rumah, halaman, kantor, mobil, kolam renang, dan lain-lain. Tingkat perbedaan kekuasaan dapat juga dilihat melalui jarak, contohnya: perbedaan antara penguasa dan penjaga, kurir, pelayan jelas diindikasikan oleh jarak masing-masing orang tersebut dari singgasana, dan sikap fisik mereka, seperti: menengadah ke atas menghadap sang penguasa, menundukkan wajah ke bawah dalam jarak kejauhan tertentu, atau mundur dari tempat singgasana dengan terus membungkukkan badan. Wacana kekuasaan yang direalisasikan bahasa (teks) membentuk ideologi tertentu. Teks yang merealisasikan wacana, termasuk wacana kekuasaan, dimotivasi secara ideologis. Hal ini sejalan dengan pandangan teori Linguistik Sistemik Fungsional yang menyatakan bahwa setiap teks dimotivasi secara kontekstual, khususnya dalam arti bahwa bahasa terikat atau termotivasi oleh konteks situasi, konteks budaya, dan ideologi.
Konsep Fowler dan kawan-kawan
Telah disampaikan sebelumnya bahwa Roger Fowler, Robert Hodge, Gunther Kress, dan Tony Trew adalah sekelompok pengajar di Universitas East Anglia yang terkenal dengan pendekatan critical linguistics. Sebagai pendekatan yang dikembangkan dari teori linguistik, bahasa dipandang sebagai praktik sosial, melalui mana suatu kelompok memantapkan dan menyebarkan ideologinya (Eriyanto, 2005: 133).
Fowler dan kawan-kawan ini memandang bagaimana tata bahasa, atau grammar tertentu dan pilihan kosakata tertentu membawa implikasi dan ideologi tertentu (Halliday dalam Kress, 1976; Kress&Hodge, 1978; Volosinov, 1973; Whorf, 1956 dalam Dijk 1985:30; Fowler, 1979). Model Fowler dan kawan-kawan ini didasari oleh konsep Halliday mengenai struktur dan fungsi bahasa. Fungsi dan struktur bahasa ini menjadi dasar struktur tata bahasa, di mana tata bahasa itu menyediakan alat untuk dikomunikasikan kepada khalayak. Fowler dan kawan-kawan meletakkan tata bahasa dan praktik pemakaiannya tersebut untuk mengetahui praktik ideologi.
Fowler dan kawan-kawan melihat bahasa sebagai sistem klasifikasi. Sistem klasifikasi antara seseorang atau satu kelompok dan kelompok lain tentunya berbeda-beda. Perbedaan ini disebabkan latar belakang budaya, sosial, dan politik yang berbeda. Contohnya, penggunaan kosakata yang berbeda dalam sebuah peristiwa yang sama akan menghasilkan realitas yang berbeda pula. Kosakata yang berbeda tersebut merupakan suatu praktik ideologi tertentu.
Fowler membagi unsur kosakata menjadi empat bagian yaitu: membuat klasifikasi, membatasi pandangan, pertarungan wacana, dan marjinalisasi (Eriyanto, 2005:134). Bagian pertama dari unsur kosakata ialah membuat klasifikasi, yang bermakna peristiwa dilihat dalam satu sisi yang satu bukan yang lain. Dalam membahasakan sesuatu realitas, pemakai bahasa telah menggunakan pengalaman budaya, sosial, dan tujuan mereka. Kosakata tertentu yang digunakan pemakai bahasa menggambarkan realitas dan mengandung penilaian. Critical linguistics akan membedah dan membongkar kemungkinan pemakaian bahasa untuk melegitimasi seseorang atau suatu gagasan.
Bagian kedua unsur kosakata adalah membatasi pandangan. Merujuk pada pendapat Fowler (1984:8) yang mengatakan bahwa bahasa pada dasarnya bersifat membatasi, maka dapat dikatakan bahwa kosakata berpengaruh terhadap bagaimana kita memahami dan memaknai suatu peristiwa. Oleh karena khalayak tidak mengalami atau mengikuti suatu peristiwa secara langsung, maka ketika membaca suatu kosakata tertentu di sebuah media, kosakata tersebut akan dihubungkan dengan realitas tertentu[1]. Pilihan kata-kata yang dipakai menunjukkan sikap media tertentu ketika melihat dan memaknai suatu peristiwa. Pemakaian kata-kata yang berbeda dari setiap media menimbulkan arti dan pemaknaan tertentu ketika diterima oleh khalayak. Contohnya, kata ’konflik’ atau ’pertikaian’ untuk pemberitaan kasus Ambon di dua media Kompas dan Suara Pembaruan terbitan 29 Desember 1999[2]. Kedua kata yang terdapat di dua media tersebut menggambarkan tentang peristiwa yang tidak dapat dirunut siapa yang salah atau benar, dan tidak ada posisi pelaku dan korban. Pemakaian kedua kata tersebut tidak memberi penilaian atas pihak-pihak yang bertikai. Hal ini membuat kedua media Kompas dan Suara Pembaruan terlihat aman.
Pada bagian ketiga, kosakata haruslah dipahami dalam konteks pertarungan wacana. Setiap media mempunyai versi atau pendapat sendiri-sendiri atas suatu masalah yang diberitakan dan berusaha agar versinya dianggap paling benar. Disamping itu, media juga menggunakan kosakata sendiri untuk memengaruhi opini publik. Mereka memaksakan agar kosakata itulah yang lebih diterima publik (Eriyanto, 2001:141). Pertarungan wacana yang terdapat dalam pemberitaan media mengenai kasus Aceh dipandang berbeda oleh dua pihak; TNI dan GAM. Masing-masing pihak mengambarkan kasus ini dengan cara berbeda, baik dari terjadinya konflik, penyebab, situasi, proses, korban, dan pelaku. Melalui bahasa tertentu, peristiwa dilabeli sebagai ’kontak senjata’ oleh pihak militer dengan tujuan militer ingin cuci tangan dan tidak ingin disebut pembantai atau pembunuh. Kosakata ini bukan membuat khalayak makin memahami peristiwa yang terjadi di Aceh, tetapi justru mengaburkannya, bahkan menipu. Kosakata ini membatasi cara pandang khalayak mengenai berbagai peristiwa.
Pada bagian terakhir, unsur kosakata ialah marjinalisasi. Argumen dasar Roger Fowler adalah pilihan linguistik tertentu, yaitu kata, kalimat, proposisi membawa nilai ideologis tertentu. Hal tersebut bukan merupakan persoalan teknis tatabahasa atau linguistik tetapi membawa implikasi ideologis tertentu.
Tinjauan LFS tentang Ideologi Konsep Martin, Halliday, dan Hasan
Ideologi adalah makna yang menjadi panduan dalam bertindak. Jika dikumpulkan semua deskripsi tindakan seseorang atau kelompok etnis dalam teks, teks itu menjadi dasar untuk menjajaki dan merumuskan ideologi. Menurut Halliday satu kelompok penutur bahasa memiliki standar atau patokan ideal tentang satu fenomena sosial. Ini berarti ideologi merupakan panduan dan saringan (filter) untuk bertindak dalam satu situasi (Iedema:1995).
Konsep Halliday tersebut didukung Martin, yang menurutnya ideologi dapat dilihat dari etnik, kelas sosial, jender, dan generasi (Martin, 1992:581). Martin (1992:581) berpendapat bahwa ideologi adalah semacam perekat bagi bersatunya anggota-anggota masyarakat. Ideologi dimiliki setiap ras, kelompok, seseorang dan terkait pada suatu zaman atau kurun waktu. Dengan kata lain, ekspresi dan realisasi ideologi terlihat dalam teks baik secara eksplisit maupun implisit.
Ideologi merupakan konstruksi atau konsep sosial yang menyatakan apa yang seharusnya dilakukan, atau yang seharusnya tidak dilakukan seseorang sebagai anggota masyarakat (Eggins, 1994:10). Dengan kata lain, ideologi merupakan konsep atau gambar ideal yang diinginkan atau diidamkan anggota masyarakat dalam satu komunitas. Dengan pengertian ini, konteks ideologi mencakup nilai (yang dimiliki secara sadar atau tidak), sudut pandang, posisi atau perspektif yang dianut (Eggins, 1994:10).
Hasan memaknai ideologi dengan arti lain. Hasan (1996:133) melihat ideologi sebagai sesuatu yang hidup melalui tindakan kebiasaan sehari-hari kelompok pelaku sosial baik berwujud verbal maupun nonverbal yang jauh dari pikiran sadar mereka akan hal itu. Selanjutnya, Hasan berargumen bahwa sejujurnya bila ideologi merupakan sistem ide yang menyesatkan maka pertimbangan sadar, begitu dia muncul, sangat mungkin akan mengarah ke penggunaannya, dan dapat menjadi alat dalam mengantarkan perubahan (Sinar, 2004:10). Sistem ide jelas dapat menyesatkan, bahkan sekalipun dia didukung suatu analisis yang kelihatan paling jelas dan sangat tajam berkaitan dengan fenomena sosial. Tetapi, deskripsi suatu analisis yang sangat tajam atau kelihatan paling jelas menyiratkan adanya suatu perspektif tertentu. Satu sistem ide menyesatkan dapat diganti ideologi lain, yang pada gilirannya dapat dibeberkan sebagai sistem ide menyesatkan. Atas dasar ini, Hasan (1996:133) lebih suka melihat ideologi dalam arti sebagai ’sistem ide yang dikonstruksi secara nasional yang nampak tak bisa dihindari’.
Dari berbagai jenis ideologi seperti terurai di atas, maka maknanya mencakup: (a) keseluruhan prinsip atau norma yang berlaku di dalam masyarakat; (b) dalam idelogi komunisme ditekankan pertentangan kelas sosial; (c) bahasa adalah sebagai salah satu sistem ideologis yang penting dan objektif; (d) ideologi tentang kekuasaan berperan dalam proses-proses sosial yang mana orang tidak menyadarinya; dan (e) ideologi Pancasila merupakan seperangkat nilai intrinsik yang diyakini kebenarannya oleh suatu masyarakat, dijadikan dasar dalam menata negara, dan (f) ideologi berkenaan dengan sistem kepercayaan dan sistem nilai yang dianut oleh suatu masyarakat dan nilai-nilai yang mereka junjung dan yakini kebenarannya.
Dengan demikian, ideologi adalah kebenaran teoretis dan empiris yang diyakini kebenarannya (secara nisbi) oleh para pengikutnya.
Referensi:
[1]Eriyanto (2001:137). Analisis Wacana: Pengantar Analisis Teks Media. Yogyakarta: PT.LKis Pelangi Aksara.
[1]Eriyanto memberi contoh analisis kosakata dari pemberitaan dua media tersebut. Lihat Eriyanto (2001:139).
Halliday dalam Kress, 1976; Kress&Hodge, 1978; Volosinov, 1973;
Whorf, 1956 dalam Dijk 1985:30; Fowler, 1979).