Lhoksukon, Harianpaparazzi.com – Langit mendung menggantung di atas ruang sidang Pengadilan Negeri Lhoksukon. Di bangku pengunjung, puluhan warga Desa Buket Linteng duduk bersisihan dengan wajah tegang. Mereka menanti keadilan, bukan dalam bentuk pidato hukum, tetapi pengakuan bahwa tanah yang mereka garap sejak puluhan tahun silam, bukan milik para pejabat titipan.
Hari ini Rabu, 24 Juni 2025, akan menjadi momentum penting. Pengadilan Lhoksukon direncanakan turun langsung ke lokasi lahan 110 hektar yang disengketakan antara dua desa, Buket Linteng dan Serkei. Sidang lapangan ini menjadi bagian dari proses keempat dalam rangkaian panjang sengketa agraria yang mengusik nurani keadilan di Aceh Utara.
Gugatan diajukan oleh warga Buket Linteng atas kepemilikan 55 kavling dengan SHM yang menurut mereka terbit secara tidak sah di atas tanah yang telah mereka kuasai sejak 1978. Selama program PIR Translok berjalan di era 1980-an, banyak nama muncul dalam daftar penerima lahan, sebagian besar titipan elit lokal dan pejabat pemerintah.
Namun konflik mulai memanas sejak hadirnya proyek replanting sawit senilai Rp14,5 miliar pada 2019. Dana besar ini memantik sengketa baru, karena nilai ekonomis lahan meningkat drastis. Warga Buket Linteng yang dulu hanya bisa melihat truk sawit lewat di depan rumah mereka, kini bersuara lantang di hadapan hakim: “Tanah itu milik kami, bukan milik pejabat!”
Geuchik Mansur membeberkan bahwa pihaknya telah menggugat seluruh pemilik SHM ke pengadilan. Meskipun begitu, pihak desa masih enggan melaporkan ke penegak hukum dan lebih memilih jalur perdata.
Pengakuan Sudikan, pihak pengelola koperasi KUD, mengakui kelemahan data administrasi. “Kami hanya punya copy sertifikat. Peta pun tidak lengkap. Dulu Aceh sedang konflik,”
Menurut Geuchik Sidang di Pengadilan Lhoksukon adalah ujian bagi semua warga, pemerintah, bahkan sistem hukum itu sendiri. Apakah negara akan berdiri di samping mereka yang kuat dokumen tapi lemah legitimasi sosial, Ataukah berpihak pada mereka yang telah memelihara lahan dengan keringat dan darah (firdaus)
Hukum agraria nasional harus menyeimbangkan antara kekuatan legalitas dan keadilan sosial. Jika tidak, maka pengadilan hanya akan menjadi panggung bagi kekuasaan, bukan ruang perlindungan rakyat kecil.
Konflik tanah ini tak sekadar soal batas desa. Ia adalah refleksi dari ketimpangan struktural, ketidakadilan historis, dan kelalaian negara dalam menjaga hak-hak rakyat. Warga Buket Linteng telah bicara. Sekarang giliran hukum menanggapi dengan keadilan, bukan sekadar vonis. (firdaus)