Lhokseumawe, Harianpaparazzi – Kunjungan Penjabat (Pj) Wali Kota Lhokseumawe, A. Hanan, bersama Ketua DPRK Faisal Haji Isa dan rombongan ke Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) baru-baru ini menuai kritik tajam. Pakar Ilmu Sosial Politik Universitas Malikussaleh, Dr. Dahlan A. Rahman, M.Si., memandang langkah ini hanya akan menjadi seremoni belaka tanpa adanya tindakan konkret di lapangan.
Dr. Dahlan mempertanyakan prioritas Pemko Lhokseumawe menempatkan penegakan disiplin ASN sebagai langkah awal pemberantasan korupsi. Menurutnya, hal ini justru mengalihkan perhatian dari peran utama pimpinan.
“ASN hanya pelaksana tugas. Ketika ada penyimpangan, sering kali mereka dijadikan kambing hitam, apalagi ketika PNS itu terbukti melakukan pelanggaran, maka sangsi nya dapat berupa pemecatan Apalagi saat ini begitu mudahnya memecat seorang PNS”.
Ia menekankan bahwa pemberantasan korupsi harus dimulai dari integritas dan ketegasan pimpinan eksekutif maupun legislatif. Fakta integritas yang ditandatangani sebelum menjabat sering kali hanya menjadi formalitas. “Sayangnya, justru pimpinan sering menjadi aktor utama yang mendorong praktik korupsi, dengan dalih kebutuhan atau kompromi politik,” ungkapnya.
Lebih jauh, Dr. Dahlan menyoroti praktik tender proyek selama ini tidak transparan. Misalnya Isu fee proyek sebesar 10-15 persen yang mencuat sebelum Ramadan 2023, menurutnya, mencerminkan budaya korupsi yang sistemik. “Jika proses tender tidak terbuka dan terus diwarnai negosiasi di belakang layar, istilah ‘pagar makan tanaman’ akan terus berlaku,” katanya.
Dirinya juga menyoroti campur tangan pihak legislatif dalam proyek, seharusnya mereka bebas dari intervensi. Telebih lagi Ketika DPRK ikut berbicara soal jatah proyek, bagaimana mungkin kita berharap pemberantasan korupsi berjalan.
Untuk mencegah korupsi, Dr. Dahlan merekomendasikan agar proses tender sepenuhnya berbasis sistem elektronik seperti e-katalog, dengan akses informasi yang terbuka bagi masyarakat dan kontraktor. Demikian halnya harus terpasang pemasangan papan proyek untuk setiap pengerjaan.
Ketika ditanya soal perlunya payung hukum baru, Dahlan menilai regulasi yang ada sudah cukup. Yang dibutuhkan saat ini adalah pelaksanaan aturan secara konsisten. Payung hukum tambahan tidak akan berguna jika mentalitas pelaku birokrasi dan politik tidak berubah
“Libatkan Pihak kejaksaan dan kepolisian dalam pegadaan barang dan jasa dan itu pentingnya pengawasan ketat dari aparat penegak hukum, seperti Kejaksaan dan Kepolisian, dalam proses pengadaan barang dan jasa.”
Kritik Dr. Dahlan menjadi pengingat penting bagi Pemko Lhokseumawe bahwa pemberantasan korupsi membutuhkan aksi nyata, bukan sekadar kunjungan atau retorika. Masyarakat kini menanti apakah langkah Pemko dan DPRK ini akan berlanjut pada perubahan konkret, atau hanya berhenti di panggung simbolis. (firdaus)