Catatan : Firdaus/Tri Nugroho
Suasana di lingkungan Sekretariat Daerah Kota Lhokseumawe mendadak panas. Mulkan, S.T., nama yang mencuat bukan karena prestasi, melainkan masa lalu kelamnya sebagai mantan terpidana narkotika, kini duduk manis sebagai Kepala Bagian Umum. Pelantikannya pada 8 April 2025 lalu menyisakan banyak tanya – tentang etika, moralitas, dan integritas tata kelola pemerintahan daerah.
Wartawan yang hendak menemui Mulkan pada Senin (14/04) di ruangannya mendapati informasi bahwa ia dipanggil Wakil Wali Kota. Namun, setelah ditunggu lebih dari dua jam, sosok Mulkan tak kunjung muncul. Diduga kuat, ia menghindar dari sorotan publik dan pertanyaan media.
Sikap tertutup juga ditunjukkan Kepala BKPSDM Irsyadi, yang tidak merespons saat dihubungi. Padahal, dalam pernyataan sebelumnya, Irsyadi telah mengakui bahwa Mulkan adalah eks napi narkoba. Ia divonis satu tahun empat bulan dalam perkara penyalahgunaan sabu dan telah menjalani hukuman. Irsyadi berdalih bahwa pengangkatan Mulkan telah mendapat persetujuan administratif dari Badan Kepegawaian Negara (BKN), meskipun mengakui secara etika, hal itu memang tidak patut.
Kebobrokan Prosedural dan Bungkamnya Baperjakat
Kepala Bagian Prokopim Setdako Lhokseumawe, Hermawan, yang dikonfirmasi, juga terlihat gamang menjawab. Ia menegaskan bahwa seluruh proses sudah mengikuti mekanisme dan regulasi, namun tidak mampu menjelaskan apakah penempatan Mulkan sesuai dengan sistem merit. Bahkan, saat ditanya apakah Baperjakat telah menggelar sidang resmi dalam pengangkatan ini, Hermawan menyarankan untuk langsung menghubungi Irsyadi.
Lebih jauh, Hermawan secara tersirat meminta agar pemberitaan soal Irsyadi dan Mulkan tidak dilanjutkan. Ia mengaku khawatir jika dirinya sebagai pejabat yang baru dilantik ikut terseret.
Rekam Jejak yang Mengguncang Kepercayaan Publik
Mulkan bukan sekadar nama. Ia adalah simbol dari krisis keteladanan di lingkungan pemerintahan. Berdasarkan dokumen pengadilan, ia tertangkap pada Maret 2021 atas kepemilikan 1,12 gram sabu yang disembunyikan di rumahnya. Ia mengaku membeli dan mengonsumsi sabu beberapa jam sebelum ditangkap. Tes urine menyatakan hasil positif mengandung metamfetamin.
Dalam proses hukum, Mulkan dijerat pasal berlapis dan divonis satu tahun empat bulan penjara. Namun, pasca vonis itu, ia tidak diberhentikan sebagai ASN, dan kini justru menjabat posisi strategis.
Etika yang Dilupakan, Moral yang Ditinggalkan
UU ASN No.5 Tahun 2014 dan PP No.11 Tahun 2017 menjadi pijakan administratif. Namun, hukum administrasi tak serta merta memadai untuk menjawab pertanyaan moral publik: apakah seorang mantan pengguna narkoba pantas menjabat posisi pengambil kebijakan dalam birokrasi pemerintahan?
Jika Pemko Lhokseumawe menyatakan bahwa proses ini legal, publik tetap berhak mempertanyakan, “Apakah ini etis?”
Di ruang-ruang kopi masyarakat, pertanyaan itu terus bergema. Dan kini, isu tersebut sudah tidak bisa lagi disembunyikan. Pertanggungjawaban publik menunggu. (Bersambung)