Catatan: Firdaus/Tri Nugroho
Setelah dua episode yang mengguncang, kini saatnya menelaah dari sisi hukum dan pengawasan. Apakah pelantikan Mulkan sebagai Kabag Umum di Pemko Lhokseumawe merupakan pelanggaran regulasi atau hanya cacat etika? Dan jika demikian, siapa yang harus bertanggung jawab?
Untuk menjawab itu, kami meminta pendapat dari pakar hukum administrasi negara dan pemerintahan, akademisi hukum, serta mendorong respon dari DPRK Lhokseumawe sebagai lembaga pengawas.
Pakar Hukum: “Tidak Salah Secara Administratif, Tapi Gagal Total Secara Etika”
Dosen Hukum Tata Negara dan juga Ketua Program Studi Magister Universitas Malikussaleh Lhokseumawe, Dr. Yusrizal, S.H, M.H, “Pelantikan seseorang yang pernah menjadi terpidana narkotika memang tidak serta-merta dilarang jika vonisnya di bawah dua tahun. Namun, jabatan publik membutuhkan lebih dari sekadar bersih dari pidana. Ia butuh legitimasi moral.”
Lebih lanjut, ia menegaskan bahwa UU ASN Nomor 5 Tahun 2014 dan PP 11 Tahun 2017 memang mengatur soal pidana 2 tahun atau lebih. Tapi jika kepala daerah masih tetap memilih seseorang yang punya rekam jejak pidana narkoba, itu adalah kegagalan etik yang fatal.
Merit System Dikhianati
Dalam penjelasannya, pakar hukum itu juga menyebut pengangkatan seperti ini menabrak prinsip merit system — yaitu penempatan ASN berdasarkan kompetensi, integritas, dan rekam jejak.
“Jika Baperjakat hanya menjalankan formalitas, dan BKD menyebut ‘perintah atasan harus diamankan’, maka birokrasi kita sudah kehilangan nyali. Ini bukan meritokrasi, ini kartel loyalitas,” tegasnya.
DPRK Lhokseumawe Bungkam?
Ketika wartawan mencoba menghubungi pimpinan DPRK Lhokseumawe, belum ada pernyataan resmi. Namun salah satu anggota dewan yang minta namanya dirahasiakan menyebut:
“Kami sebenarnya sudah dengar isu ini sejak sebelum pelantikan. Tapi kami belum melihat dokumen lengkapnya. Kalau benar mantan napi narkoba, maka ini persoalan serius. Kami akan agendakan pemanggilan BKD dan Sekda.”
KPK, Ombudsman, dan Komisi ASN Harus Bergerak
Selain dari sisi pengawasan lokal, banyak kalangan mendorong agar kasus ini dilaporkan ke KASN (Komisi Aparatur Sipil Negara), Ombudsman RI, dan KPK, terutama bila ditemukan transaksi jabatan atau tekanan politik dari orang dalam.
“Setiap ASN, termasuk yang baru dilantik, harus melalui proses yang akuntabel dan terbuka. Jika ditemukan manipulasi informasi atau rekayasa dalam sistem Baperjakat, maka bisa masuk dalam kategori pelanggaran berat,” ungkap seorang pengamat kebijakan publik.
Publik Tak Lagi Bisa Dibodohi
Hari ini, publik tidak hanya membaca nama dan jabatan. Mereka membaca integritas pejabat. Di meja kopi, pasar, hingga kampus-kampus, nama Mulkan menjadi lelucon pahit — “Mantan sabu jadi bos kantor.”
Dan semakin banyak pejabat diam, semakin besar bara kemarahan publik. Ini bukan sekadar tentang satu nama. Ini tentang bagaimana etika dikalahkan oleh politik dinasti, loyalitas buta, dan kemunafikan birokrasi.
Ketika keadilan dan kepercayaan dilanggar, satu-satunya cara untuk memulihkannya adalah dengan transparansi. Pemerintah Kota Lhokseumawe punya pilihan: membenahi, atau ditinggalkan oleh kepercayaan publik. (*)