Lhoksukon, Harianpaparazzi.com – Aceh, tanah dengan perut bumi kaya raya, kembali disodorkan angka-angka bombastis soal produksi minyak dan gas bumi (migas). Kepala Badan Pengelola Migas Aceh (BPMA), Nasri Djalal, dengan bangga menyebut capaian produksi migas Aceh pada triwulan pertama 2025 menembus 116 persen dari target. Namun di balik angka-angka yang megah ini, sebuah pertanyaan klasik kembali bergema dari pelosok Aceh: “Rakyat dapat apa?”
Ledakan Angka, Redupnya Rakyat
Dalam paparannya, Nasri menyebut produksi gabungan dari semua kontraktor migas di Aceh selama Januari hingga Maret 2025 mencapai 15 juta 652 ribu barel oil equivalent per day (BOEPD). Di bulan Maret saja, produksi tembus 11.360 BOPD, setara 11 persen di atas target.
Namun fakta lapangan berbicara lain. Pendapatan masyarakat di sekitar ladang migas masih jalan di tempat. Harga karet tetap rendah, harga sawit tak stabil, dan angka pengangguran di wilayah-wilayah penghasil migas seperti Aceh Utara dan Aceh Timur tetap tinggi.

“Apa artinya produksi 116 persen kalau dapur rakyat tetap kosong?” kata Abdullah, warga Matang Kuli yang rumahnya tak jauh dari ladang gas Blok B.
Dulu Aceh, Kini Hanya Bayangan
General Manager PT Pema Global Energy (PGE), Resha Ramadian, mengakui produksi saat ini hanya 2 persen dari masa kejayaan era Mobil Oil di tahun 1980-an. Dulu, Blok Arun bisa memuntahkan 3.000 juta kaki kubik gas per hari, kini tinggal 50 MMSCFD (Million Standard Cubic Feet per Day).
Resha menyebut tantangan eksplorasi baru adalah soal utama. Sejak 2021, PGE menggelar seismik di berbagai titik. Namun hingga kini, hasilnya belum mampu mendongkrak produksi signifikan.
“Target kita bukan hanya cari cadangan baru, tapi memastikan keberlanjutan migas di Aceh,” ujarnya.
Dibalik 116 Persen: Bukan Soal Uang yang Masuk ke Aceh
Nasri Djalal menyebut, meski produksi melampaui target, kontribusi pendapatan untuk Aceh dari sektor gas tetap kecil. Hal ini disebabkan penerapan kebijakan Harga Gas Bumi Tertentu (HGBT) dari pemerintah pusat, di mana gas dari Aceh dijual murah ke industri di Pulau Jawa dan Sumatera.
Artinya? Aceh hanya menerima ‘sisa’ setelah negara mengambil bagiannya untuk menutup subsidi gas nasional.
Lebih pedih lagi, hingga kini BPMA tidak merinci berapa angka pasti Dana Bagi Hasil (DBH) migas Aceh tahun 2024. Hanya disebut “di bawah Rp10 triliun”. Itu pun setelah dipotong kewajiban pajak dan pembagian hasil ke pusat.
Transparansi Data: Benarkah Sudah Terbuka?
BPMA berdalih, semua data produksi dan lifting bisa diakses publik lewat website mereka. Namun fakta di lapangan, masyarakat awam tidak mengerti istilah lifting, BOEPD, atau WP&B.
“Rakyat hanya tahu gas diambil, tapi dampaknya apa buat kami?” celetuk Jamal, aktivis dari Lhoksukon.
CSR: 1 Persen, Tapi Ke Mana?
Tentang tanggung jawab sosial perusahaan (CSR), Nasri menyebut ada kewajiban 1 persen dari pendapatan perusahaan untuk masyarakat. Namun, jumlah pasti penyaluran, bentuk program, dan siapa penerima manfaatnya… semua serba kabur.
Migas 116 Persen, Kemiskinan Tak Bergeser
Fakta yang tak bisa dipungkiri, Aceh tetap menjadi salah satu provinsi termiskin di Sumatera, meski berada di atas ladang migas raksasa.
Ironi produksi tinggi, rakyat tetap rendah pendapatan.
Pertanyaan untuk kita semua:
Saiful MDA, warga Lhoksukon, memperayakan , Apakah masyarakat aceh hanya akan menjadi penonton, sementara gas dari tanah kita, terus mengalir ke luar, tanpa pernah mampu menyulut lampu di rumah rakyat Aceh sendiri ( firdaus)