Aceh Utara, Harianpaparazzi – Suasana di pasar tradisional Aceh hari ini riuh rendah. Hiruk-pikuk pedagang dan pembeli memenuhi sudut-sudut pasar. Daging sapi, kambing, dan ayam tergantung di kios-kios, siap dibeli untuk menyambut hari Meugang. Tradisi turun-temurun ini bukan sekadar pesta daging, tapi juga simbol kebersamaan dan rasa syukur masyarakat Aceh menjelang bulan suci Ramadan.
Seorang ibu rumah tangga, Rahma (45), tampak sibuk menawar harga daging. “Meugang ini wajib, Bang. Walaupun harga mahal, tetap harus beli. Ini soal tradisi dan kebahagiaan keluarga,” katanya sambil tersenyum. Baginya, Meugang bukan sekadar makan daging, tetapi juga momen berbagi dengan keluarga, tetangga, dan anak yatim.
Pemerintah dan Tradisi Meugang

Menjelang Meugang, pemerintah daerah ikut turun tangan memastikan ketersediaan daging dan kestabilan harga di pasar. Pemkab Aceh Utara, misalnya, menggelar inspeksi mendadak ke pasar-pasar guna menghindari spekulasi harga. “Kami ingin memastikan masyarakat tetap bisa menjalankan tradisi ini tanpa terbebani harga yang melonjak,” ujar Bupati Aceh Utara, Ismail A. Jalil yang akab disapa (Ayah wa).
Selain itu, dalam rangka mendukung Meugang, pemerintah daerah juga memberikan tunjangan khusus bagi Aparatur Sipil Negara (ASN) dan bantuan sosial bagi masyarakat kurang mampu. Hal ini sesuai dengan Qanun Aceh Nomor 7 Tahun 2014 yang mengatur hari libur pada hari tertentu, termasuk Meugang, serta pemberian tunjangan paling sedikit tiga hari sebelumnya.
Gotong Royong Jelang Ramadan
Selain memastikan Meugang berjalan lancar, pemerintah juga menginisiasi gotong royong massal di berbagai daerah. Di Aceh Utara, gotong royong ini melibatkan ASN, unsur Forkopimda, hingga tokoh masyarakat untuk membersihkan masjid-masjid.
Sekda Aceh Utara, Dr. A. Murtala, kepada wartawan Paparazi Selasa (25/2), menyebut kegiatan ini sebagai bentuk kepedulian pemerintah dalam menyambut bulan suci Ramadan dengan semangat kebersamaan. “Bersihnya masjid dan lingkungan sekitar akan membuat jamaah lebih nyaman beribadah,” ujarnya.
Warisan Budaya dan Ekonomi
Sejak zaman Kesultanan Aceh, tradisi Meugang telah menjadi bagian dari budaya masyarakat. Pada masa itu, sultan memotong hewan dalam jumlah besar dan membagikannya secara gratis kepada rakyat sebagai bentuk rasa syukur. Kini, meskipun tradisi tersebut lebih banyak dilakukan secara mandiri oleh masyarakat, nilai-nilai kebersamaan dan berbagi tetap dijaga.
Selain aspek budaya dan religius, Meugang juga menjadi penggerak ekonomi. Pedagang daging, bumbu dapur, dan kebutuhan pokok lainnya merasakan dampak positif dari tradisi ini. “Alhamdulillah, selama Meugang dagangan kami laris. Ini berkah Ramadan,” kata Hasballah, seorang pedagang daging di pasar Lhokseumawe.
Tradisi Meugang adalah cerminan nilai-nilai Islam yang tertanam kuat dalam kehidupan masyarakat Aceh. Meugang bukan hanya soal makan daging, tetapi juga simbol kebersamaan, rasa syukur, dan kepedulian terhadap sesama. Pemerintah, masyarakat, dan para ulama terus berperan menjaga tradisi ini agar tetap lestari di tengah arus modernisasi. ( firdaus)