Lhoksukon, Harianpaparazzi.com – Di satu sisi, suara mesin truk sawit meraung setiap pagi, menyemburkan debu ke pemukiman warga. Di sisi lain, jerit warga Buket Linteng menggema: “Tanah kami dirampas”. Mereka bukan pencari ribut. Mereka pemilik sah yang ingin kembali menyentuh bumi yang telah mereka garap sejak 1978.
Konflik agraria kembali meledak di Kecamatan Langkahan, Aceh Utara. Lahan seluas 110 hektar yang berada di tapal batas antara Desa Buket Linteng dan Serkei, menjadi ajang tarik menarik kepemilikan. Sengketa ini bukan baru, namun pecah kembali pasca hadirnya program Replanting sawit pada tahun 2019 senilai Rp14,5 miliar.
Warga Buket Linteng mengklaim tanah itu digarap sejak 1978 oleh leluhur mereka dari Dusun Lubok Mueku, jauh sebelum program PIR dan translok dimulai di tahun 1980-an. Mereka menanam durian, nangka, dan tanaman keras lain, sebagai bukti nyata penguasaan fisik. Ironisnya, pengakuan ini dibenarkan pula oleh sebagian warga Serkei.
Namun, fakta bahwa lahan itu kemudian dipecah menjadi 55 persil dengan Sertifikat Hak Milik (SHM) yang tersebar ke berbagai tangan termasuk titipan pejabat, eks Muspika, Muspida, hingga pendatang luar daerah seperti Palembang dan Medan, memantik amarah. “Kenapa orang Palembang bisa punya tanah di atas lahan garapan kami?” kata Rusli (46), warga Buket Linteng.
Dalam sidang keempat di Pengadilan Negeri Lhoksukon, konflik memuncak. Majelis hakim memutuskan akan turun langsung ke lapangan untuk pengukuran besok Rabu (25/06). Warga berharap keadilan tidak sebatas dokumen, tapi juga menyentuh sejarah dan keringat petani yang terabaikan.
Mantan Geuchik Serkei, Aziz, mengakui bahwa proses penjatahan lahan di masa PIR Translok memang melibatkan banyak nama “titipan”. Namun ia menegaskan bahwa saat ini kepemilikan sah di atas lahan tersebut telah memiliki SHM. Ia memperingatkan, bila batas desa ditarik ulang dan masuk ke wilayah Buket Linteng, ia tak mempermasalahkan secara administratif, tetapi menolak pengusikan terhadap pemilik SHM. “Kalau diganggu, itu zalim,” tegasnya.
Geuchik Buket Linteng, Mansur, menyatakan keyakinannya bahwa sejarah akan membuktikan pihaknya adalah pemilik sah. Ia bahkan telah memperingatkan agar jual beli lahan di atas area sengketa tidak dilakukan, dan siap menempuh jalur hukum bila SHM hasil jual beli ilegal terbukti.
Dari pihak KUD Sejahtera, Sudikan, selaku pengelola replanting mengaku tidak memiliki dokumen lengkap sejarah lahan. “Kami bukan pelaku sejarah. Kami hanya pegang sertifikat,” katanya. Ironis, karena koperasi dibiayai negara tetapi abai pada konflik sosial yang menyertainya.
Sementara Kusnianto, salah satu pemilik lahan, mengaku membeli lahan secara sah dari pemilik sebelumnya, lengkap dengan sertifikat. Ia menyatakan siap menerima apa pun keputusan pengadilan, namun menyerahkan sepenuhnya urusan keadilan kepada Tuhan. “Kalau saya kalah di pengadilan, saya yakin di akhirat akan ada balasannya.”
Menurut warga, Kasus ini mencerminkan pertarungan antara legalitas formal (sertifikat) dan legitimasi historis (hak garap rakyat). Dalam bingkai UU No. 5 Tahun 1960 tentang Pokok Agraria, hak garap menjadi salah satu bukti penguasaan yang sah jika terus-menerus dilakukan. Namun dalam praktiknya, mafia tanah sering kali menyusup lewat program negara seperti PIR dan replanting. Permen ATR/BPN No. 21 Tahun 2020 menegaskan pentingnya verifikasi historis dalam konflik lahan. Maka, konflik ini tak bisa dilihat dari peta dan dokumen semata, tapi harus dibaca lewat sejarah, kehadiran sosial, dan suara rakyat. (firdaus)
2 Komentar
Ini baru keren penulis nya👍🏻
Ini baru keren penulis nya👍🏻
Keren