Lhoksukon, Harianpaparazzi.com – Polemik tanah warisan keluarga almarhum Prof. Dr. H. Abdul Manan, S.H., S.IP., M.H. di Gampong Blang Aman, Kecamatan Lhoksukon, Aceh Utara, terus memanas. Geuchik setempat bukan hanya diduga meminta pungutan 2,5 persen dari transaksi tanah, tetapi juga menolak menandatangani dokumen administrasi dan bahkan mengancam media agar menghapus pemberitaan terkait kasus tersebut.
Tindakan ini bukan sekadar pelanggaran etika, melainkan berpotensi melanggar hukum pidana.
- Dugaan Pungutan Liar dan Penyalahgunaan Wewenang
Berdasarkan UU Desa Nomor 6 Tahun 2014 Pasal 29 huruf c, kepala desa dilarang “menyalahgunakan wewenang, tugas, hak, dan/atau kewajibannya.”
Permintaan 2,5 persen tanpa dasar Qanun Gampong yang sah dapat dikategorikan sebagai pungutan liar (pungli).
Lebih jauh, praktik itu juga bisa masuk ranah korupsi.
Menurut Pasal 12 huruf e UU Nomor 31 Tahun 1999 jo. UU Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, “Pegawai negeri atau penyelenggara negara yang dengan maksud menguntungkan diri sendiri atau orang lain secara melawan hukum, atau dengan menyalahgunakan kekuasaannya memaksa seseorang memberikan sesuatu, membayar atau menerima pembayaran dengan potongan, atau untuk mengerjakan sesuatu bagi dirinya sendiri, dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 4 tahun dan paling lama 20 tahun, dan denda paling sedikit Rp200.000.000 dan paling banyak Rp1.000.000.000.”
Artinya, jika benar geuchik meminta 2,5 persen sebagai syarat tanda tangan, hal itu bisa dikategorikan sebagai pemerasan oleh pejabat dan berpotensi masuk Tipikor.
- Ancaman terhadap Kebebasan Pers
Geuchik juga diduga menekan media agar menghapus pemberitaan. Padahal UU Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers tegas menyatakan:
Pasal 4 ayat (2): “Terhadap pers nasional tidak dikenakan penyensoran, pembredelan atau pelarangan penyiaran.”
Pasal 18 ayat (1): “Setiap orang yang secara melawan hukum dengan sengaja melakukan tindakan yang berakibat menghambat atau menghalangi pelaksanaan kemerdekaan pers… dipidana penjara paling lama 2 tahun atau denda paling banyak Rp500 juta.”
Ancaman penghapusan berita ini jelas bisa diproses sebagai tindak pidana menghalangi kebebasan pers.
3. Publik Menunggu Penegakan Hukum
Kasus ini memperlihatkan potensi tiga pelanggaran sekaligus:
- Pungutan liar,
- Penyalahgunaan wewenang yang bisa masuk ranah Tipikor, dan
- Pelanggaran kebebasan pers.
Kini publik menanti langkah tegas aparat hukum apakah kasus ini ditindak sesuai undang-undang, atau dibiarkan menjadi preseden buruk dalam tata kelola pemerintahan gampong di Aceh.( Tri)