Lhoksukon, Harianpaparazzi.com – Keengganan sejumlah Kelompok Kerja Kepala Sekolah (K3S) di Aceh Utara memberikan data penerima bantuan Chromebook memunculkan tanda tanya besar. Bantuan yang digelontorkan pemerintah pusat melalui program digitalisasi sekolah senilai miliaran rupiah ini, justru menyisakan misteri dan keraguan di tingkat pelaksana.
Dari hasil investigasi di lapangan, sejumlah K3S hingga kini memilih bungkam saat dimintai data sekolah penerima. Padahal, transparansi menjadi kunci utama dalam mengelola bantuan negara. Fakta di lapangan justru menunjukkan ada indikasi masalah: perangkat yang rusak tidak ditunjukkan, ada yang hilang karena dicuri, bahkan ada yang dipinjamkan ke sekolah lain tanpa kejelasan regulasi.
Kasus paling menonjol terjadi di wilayah kerja K3S Jamboe Aye, Aceh Utara, di mana beberapa unit Chromebook dilaporkan hilang meski sudah disimpan di lemari besi. Sementara di wilayah kerja K3S Kuala Simpang, Aceh Tamiang, perangkat dipinjamkan ke sekolah lain dengan dalih “pinjam pakai”. Namun K3S itu sama sekali tidak mengetahui jumlah bantuan itu yang diterima sekolah di bawah pengawasanya.
Di sisi lain, jumlah penerimaan bantuan juga tidak seragam. Di Kecamatan Syamtalira Aron, K3S Abd. Rahman saat di hubungi wartawan Paparazi.com. Jumat (03/10) mengakui sekolah yang ia pimpin menerima 28 unit. Namun sekolah lain di bawah binaannya hanya mendapat 5 unit. Saat ditanya lebih lanjut, ia enggan mengungkap sekolah mana saja yang menerima bantuan tersebut. Di kecamatan lain seperti Dewantara, K3S, Ramli meminta waktu untuk mengecek sekolah mana saja yang menerima nya, Padahal wartawan meminta data itu 2 minggu yang lalu, dan Lhoksukon, sikap K3S diam seribu bahasa.
Sejumlah kepala sekolah SD, mengakui bila dirinya telah dipanggil aparat penegak hukum untuk memberikan keterangan jumlah barang yang diterima dan spesipikasi crome book. Karena terdapat perbedaan merek antara satu sekolah dengan sekolah lain nya.
Bantuan Chromebook ini bukan proyek kecil. Nilainya berkisar Rp6–10 juta per unit tergantung kelengkapan. Program ini bersumber dari APBN dan DAK melalui Sistem Informasi Pengadaan Laptop (SIPLA) pada 2021, dengan payung hukum Permendikbud Nomor 5 Tahun 2021.
Namun, kebijakan ini sejak awal menuai sorotan publik. Bahkan, Kejaksaan Agung tengah mengusut dugaan korupsi dalam proyek pengadaan laptop dengan estimasi kerugian negara mencapai Rp1,9 triliun.
Suara Masyarakat: “Ada yang Disembunyikan”
Rizal, warga Kecamatan Meurah Mulia, menilai sikap K3S yang menutup diri justru memperkuat dugaan adanya sesuatu yang tidak beres.
“Kalau K3S enggan buka data, berarti mereka alergi dengan wartawan, seakan ada yang disembunyikan,” ujarnya.
Sementara itu, Rasyiddin, warga Simpang Kramat, mendesak agar K3S dan kepala sekolah lebih transparan.
“Bantuan itu kan aset negara. Kalau ditutup-tutupi, masyarakat wajar curiga,” tegasnya.
Warga mempertanyakan, Mengapa jumlah distribusi Chromebook tidak seragam? Mengapa perangkat yang rusak dan hilang tak bisa ditunjukkan? Mengapa K3S seakan takut memberikan data publik? Pertanyaan-pertanyaan ini menggiring pada satu kesimpulan ada indikasi masalah serius dalam pengelolaan bantuan digitalisasi sekolah.
Lanjut Rizal, kasus ini memperlihatkan bahwa program yang sejatinya memudahkan siswa mengikuti ANBK, justru berubah menjadi potensi masalah hukum, sosial, bahkan psikologis karena menimbulkan ketidakpercayaan publik. (firdaus )